Upaya kolaboratif dalam meningkatkan kesehatan maternal dan perinatal

Image
  Upaya kolaboratif dalam meningkatkan kesehatan maternal dan perinatal Upaya kolaboratif dalam meningkatkan kesehatan maternal dan perinatal sangat penting untuk mencapai hasil yang optimal. Berikut ini adalah beberapa contoh upaya kolaboratif yang dapat dilakukan: 1.       Kolaborasi antara tenaga medis dan bidan: Tim medis yang terdiri dari dokter, perawat, dan bidan dapat bekerja sama untuk memberikan pelayanan kesehatan yang holistik kepada ibu hamil dan bayi yang akan lahir. Dengan saling berbagi pengetahuan dan keterampilan, mereka dapat meningkatkan pemantauan kehamilan, memberikan perawatan prenatal yang tepat, dan menangani komplikasi saat melahirkan. 2.       Kemitraan antara lembaga kesehatan dan masyarakat: Kolaborasi antara fasilitas kesehatan, organisasi non-pemerintah, dan masyarakat lokal dapat membantu meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesehatan maternal dan perinatal. Misalnya, mengadakan kampanye penyuluhan dan program edukasi di komunitas mengenai perawa

ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK DENGAN GANGGUAN SISTEM INTEGUMENT


Asuhan keperawatan gerontik
dengan gangguan sistem integument

Kulit adalah organ yang paling liuas pada tubuh, mewakili kira-kira 16% dari berat badan orang dewasa. Kulit merupakan organ satu-satunya yang dapat digosok, dipijat, diregangkan, dan dicium. Kulit bersifat fleksibel dan tahan terdapat perubahan-perubahan yang terjadi sepanjang kehidupan sehari-hari. Tanpa fleksibilitas ini, suatu jabatan tangan yang sederhana akan menimbulkan pengelupasan kulit akibat regangan dan tekanan. 


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Kulit adalah organ yang paling liuas pada tubuh, mewakili kira-kira 16% dari berat badan orang dewasa. Kulit merupakan organ satu-satunya yang dapat digosok, dipijat, diregangkan, dan dicium. Kulit bersifat fleksibel dan tahan terdapat perubahan-perubahan yang terjadi sepanjang kehidupan sehari-hari. Tanpa fleksibilitas ini, suatu jabatan tangan yang sederhana akan menimbulkan pengelupasan kulit akibat regangan dan tekanan. Karena kulit dapat terlihat sangat jelas, kulit tersebut bertindak sebagai suatu suatu jendela terhadap kematian seseorang. Walaupun benar bahwa tidak seorangpun meninggal karena kulit yang sudah tua atau terjadi kegagalan kulit karena suatu diagnosis, pemahaman tentang bukti-bukti perubahan fisiologis pada kulit seiring peningkatan usia memberikan banyak informasi bagi perawat tentang klien lansia.
Secara structural, kulit adalah suatu organ kompleks yang terdiri dari epidermis, dermis, dan subkutis. Hal yang dikaitkan dengan penuaan adalah khususnya perubahan yang terlihat pada kulit seperti atropi, keriput, dan kulit yang kendur. Perubahan yang terlihat sangat abervariasi, tetapi pada prinsipnya terjadi karena hubungan antara penuaan intreinstik (alami) dan penuaan ekstrinsik (lingkungan).
Secara fungsional kulit memiliki berbagai kegunaan, dan kehadirannya sangat penting untuk bertahan hidup secara keseluruhan. Karena kulit mampu untuk melakukan sensasi, kulit dapat melindungi tubuh dari cedera dan serangan tiba-tiba dari lingkungan. Kulit yang utuh lebih jauh lagi dapat melindungi individu secara imunologis dengan cara mencegah bakteri masuk kedalam tubuh. Kulit memainkan suatu peran utama dalam termoregulasi dan adaptasi terhadap lingkungan. Kulit juga bertindak sebagai organ ekskresi, sekresi, absorbsi, dan akumulasi. Akhirnya, kulit mewakili kontak pertama individu dengan orang yang lain secara social dan secara seksual. Bagaimana cara kita melihat diri sendiri cenderung untuk menentukan bagaimana perasaan kita tentang diri kita sendiri dan merupakan suatu komponen penting dari harga diri dan konsep diri.
Proses penuaan normal dimulai dari stratum korneum yaitu lapisan paling luar dari epidermis, stratum korneum terutama terdiri dari timbunan korneosit. Dengan peningkatan usia, jumlah keseluruhan sel-sel dan lapisan sel secara esensial tetap tidak berubah, tetapi kohesi sel mengalami penurunan. Waktu perbaikan lapisan sel menjadi lambat, menghasilkan waktu penyembuhan yang lebih lama. Penurunan kekohesivan sel dalam hubungannya dengan penggantian sel beresiko terhadap lansia. Pelembab pada stratum korneum berkurang, tetapi status barier air tampaknya tetap terpelihara, yang berakibat pada penampilan kulit yang kasar dan kering. Kekasaran ini menyebabkan pemantulan cahaya menjadi tidak seimbang, yang menyebabkan kulit kurang bercahaya yang sering dihubungkan dengan kemudahan dan kesehatan yang baik.
Lalu proses penuaan epidermis mengalami perubahan ketebalan sangat sedikit seiring penuaan sesorang. Namun, terdapat perlambatan dalam proses perbaikan sel, jumlah sel basal yang lebih sedikit, dan penurunan jumlah dan kedalaman rete ridge. Rete ritge dibentuk oleh penonjolan epidermal dari lapisan basal yang mengarah kebawah kedalam dermis. Pendataran dari rete ridge tersebut mengurangi area kontak antara epidermis dan dermis, menyebabkan mudah terjadi pemisahan antara lapisan-lapisan kulit ini. Akibatnya adalah proses penyembuhan kulit yang rusak ini lambat dan merupakan predisposisi infeksi bagi individu tersebut. Kulit dapat mengelupas akibat penggunaan plester atau zat lain yang dapat menimbulkan gesekan. Oleh karena itu, penting untuk menggunakan suatu perekat yang tidak lebih kuat dari taut epidermal-dermal itu sendiri untuk mencegah atau meminimalkan cedera akibat penggunaan plester.
Terjadi penurunan jumlah melanosit seiring penuaan, dan sel yang tersisa mungkin tidak dapat derfungsi secara normal. Rambut mungkin menjadi beruban, kulit mungkin mengalami pigmentasi yang tidak merata, dan perlindungan pigmen dari sinar ultraviolet (uv) mungkin menurun.
Pada saat individu mengalami penuaan, volume dermal mengalami penurunan, dermis menjadi tipis, dan jumlah sel biasanya menurun. Konsekuensi fisiologis dari perubahan ini termasuk penundaan atau penekanan timbulnya penyakit pada kulit, penutupan dan penyembuhan luka lambat, penurunan termoregulasi, penurunan respon inflamasi, dan penurunan absorbsi kulit terhadap zat-zat topical.
Perubahan degeneratif dalam jaringan elastis dimulai sekitar usia 30 tahun. Serabut elastis dan jaringan kolagen secara bertahap dihancurkan oleh enzim-enzim, menghasilkan perubahan dalam penglihatan karena adanya kantung dan pengeriputan pada daerah sekitar mata. Pada saat elastisitas menurun, dermis meningkatkan kekuatan peregangannya; hasilnya adalah lebih sedikit ‘’melentur’’ ketika kulit mengalami tekanan. Organisasi kolagen menjadi tidak teratur, dan turgor kulit hilang.
Vaskularitas juga menurun, dengan lebih sedikit pembuluh darah kecil yang umumnya terdapat pada dermis yang memiliki vaskuler sangat tinggi. Dermis berisi lebih sedikit fibroblast, makrofag, dan sel batang. Secara visual kulit tampak pucat dan kurang mampu untuk melakukan termoregulasi. Lansia oleh karena hal tersebut beresiko tinggi untuk mengalami hipertermia atau hipotermia.
Secara umum, lapisan jaringan subkutan mengalami penipisan seiring dengan peningkatan usia. Hal ini turut berperan lebih lanjut terhadap kelemahan kulit dan penampilan kulit yang kendur/menggantung diatas tulang rangka. Penurunan lapisan lemak terutama dapat dilihat secara jelas pada wajah,tangan, kaki, dan betis, pembuluh darah menjadi lebih cenderung untuk mengalami trauma. Deposit lemak cenderung untuk meningkatkan pada abdomen baik pada wanita dan pria, seperti halnya bagian paha pada wanita. Distribusi kembali dan penurunan lemak tubuh lebih lanjut menimbulkan gangguan fungsi perlindungan dari kulit tersebut.

B.     Tujuan
1.      menggambarkan perubahan fisiologis pada kulit yang mengalami penuaan.
2.      mengenali dampak dari penuaan dini karena sinar matahari pada kulit.
3.      menggambarkan lesi pada kulit sebagai akibat terpajan penyinaran.
4.      menyebutkan dua jenis resiko dari trauma terhadap kulit.
5.      menggambarkan dua alasan terjadinya penyembuhan luka yang tertunta pada
lansia.
6.      menggambarkan proses pengkajian kulit dan mendemonstrasikan dokumentasi
yang sesuai.
7.      mengembangkan suatu rencana perawatan untuk mempertahankan integritas kulit

C.    Manfaat
Manfaat dari setiap makalah apapun dan dengan tema apapun selalu memiliki kesamaan dalam manfaatnya yakni menambah wawasan bagi penulis sendiri karena dalam penulisannya, penulis di tuntut untuk mengambil beberapa referensi sebagai bahan penulisannya dan juga bagi para pembaca. Selain itu, dapat menjadi salah satu acuan untuk menerapkan ilmu saat proses keperawatan




BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    Definisi Decubitus
Dekubitus adalah kerusakan/kematian kulit sampai jaringan dibawah kulit, bahkan menembus otot sampai mengenai tulang akibat adanya penekanan pada suatu area secara terus menerus sehingga mengakibatkan gangguan sirkulasi darah setempat. Dekubitus atau luka tekan adalah kerusakan jaringan yang terlokalisir yang disebabkan karena adanya kompresi jaringan yang lunak diatas tulang yang menonjol (bony prominence) dan adanya tekanan dari luar dalam jangka waktu yang lama. Kompresi jaringan akan menyebabkan gangguan pada suplai darah pada daerah yang tertekan. Apabila ini berlangsung lama, hal ini dapat menyebabkan insufisiensi aliran darah, anoksia atau iskemi jaringan dan akhirnya dapat mengakibatkan kematian sel
Luka tekan (pressure ulcer) atau dekubitus merupakan masalah serius yang sering tejadi pada pasien yang mengalami gangguan mobilitas, seperti pasien stroke, injuri tulang belakang atau penyakit degeneratif. Istilah dekubitus sebenarnya kurang tepat dipakai untuk menggambarkan luka tekan karena asal kata dekubitus adalah decumbere yang artinya berbaring. Ini diartikan bahwa luka tekan hanya berkembang pada pasien yang dalam keadaan berbaring. Padahal sebenarnya luka tekan tidak hanya berkembang pada pasien yang berbaring, tapi juga dapat terjadi pada pasien yang menggunakan kursi roda atau prostesi. Oleh karena itu istilah dekubitus sekarang ini jarang digunakan di literatur literatur untuk menggambarkan istilah luka tekan.

B.     Etiologi
1.      Faktor intrinsik: penuaan (regenerasi sel lemah), sejumlah penyakit yang menimbulkan seperti dm, status gizi, underweight atau kebalikannya overweight, anemia, hipoalbuminemia, penyakit-penyakit neurologik dan penyakit-penyakit yang merusak pembuluh darah, keadaan hidrasi/cairan tubuh
2.      Faktor ekstrinsik:kebersihan tempat tidur, alat-alat tenun yang kusut dan kotor, atau peralatan medik yang menyebabkan penderita terfiksasi pada suatu sikap tertentu, duduk yang buruk, posisi yang tidak tepat, perubahan posisi yang kurang.

C.    Patofisiologi
Immobile atau terpancang pada tempat tidurnya secara pasif dan berbaring (lebih dari 2 jam),tekanan daerah sakrum akan mencapai 60-70 mmhg dan daerah tumit mencapai 30-45 mmhg (normal: tekanan daerah pada kapiler berkisar antara 16 mmhg-33 mmhg), iskemik, nekrosis jaringan kulit
Selain faktor tegangan, ada faktor lain yaitu: faktor teregangnya kulit misalnya gerakan meluncur ke bawah pada penderita dengan posisi dengan setengah berbaring
Faktor terlipatnya kulit akibat gesekan badan yang sangat kurus dengan alas tempat tidur, sehingga seakan-akan kulit “tertinggal” dari area tubuh lainnya.

D.    Tanda dan Gejala, Stadium dan Komplikasi
1.      Stadium satu
a.       Adanya perubahan dari kulit yang dapat diobservasi. Apabila dibandingkan dengan kulit yang normal, maka akan tampak salah satu tanda sebagai berikut: perubahan temperatur kulit (lebih dingin atau lebih hangat)
b.      Perubahan konsistensi jaringan (lebih keras atau lunak)
c.       Perubahan sensasi (gatal atau nyeri)
d.      Pada orang yang berkulit putih, luka mungkin kelihatan sebagai kemerahan yang menetap. Sedangkan pada yang berkulit gelap, luka akan kelihatan sebagai warna merah yang menetap, biru atau ungu.

2.      Stadium dua
Hilangnya sebagian lapisan kulit yaitu epidermis atau dermis, atau keduanya. Cirinya adalah lukanya superficial, abrasi, melempuh, atau membentuk lubang yang dangkal.
3.      Stadium tiga
Hilangnya lapisan kulit secara lengkap, meliputi kerusakan atau nekrosis dari jaringn subkutan atau lebih dalam, tapi tidak sampai pada fascia. Luka terlihat seperti lubang yang dalam
4.      Stadium empat
Hilangnya lapisan kulit secara lengkap dengan kerusakan yang luas, nekrosis jaringan, kerusakan pada otot, tulang atau tendon. Adanya lubang yang dalam serta saluran sinus juga termasuk dalam stadium iv dari luka tekan.

E.     Faktor resiko
1.      Mobilitas dan aktivitas
2.      Penurunan sensori persepsi
3.      Kelembapan
4.      Tenaga yang merobek (shear)
5.      Pergesekan (friction)
6.      Nutrisi
7.      Usia
8.      Tekanan arteriolar yang rendah
9.      Stress emosional
10.  Merokok
11.  Temperatur kulit

F.     Klasifikasi Dan Stadium Ulkus Dekubitus
Berdasarkan waktu yang diperlukan untuk penyembuhan dari suatu ulkus dekubitus dan perbedaan temperatur dari ulkus dengan kulit sekitarnya, dekubitus dapat dibagi menjadi tiga:
1.      Tipe normal
Mempunyai beda temperatur sampai dibawah lebih kurang 2,5oc dibandingkan kulit sekitarnya dan akan sembuh dalam perawatan sekitar 6 minggu. Ulkus ini terjadi karena iskemia jaringan setempat akibat tekanan, tetapi aliran darah dan pembuluh-pembuluh darah sebenarnya baik.
2.      Tipe arterioskelerosis
Mempunyai beda temperatur kurang dari 1oc antara daerah ulkus dengan kulit sekitarnya. Keadaan ini menunjukkan gangguan aliran darah akibat penyakit pada pembuluh darah (arterisklerotik) ikut perperan untuk terjadinya dekubitus disamping faktor tekanan. Dengan perawatan, ulkus ini diharapkan sembuh dalam 16 minggu.
3.      Tipe terminal
terjadi pada penderita yang akan meninggal dunia dan tidak akan sembuh.

G.    Manifestasi klinik
1.      Perubahan proliferasi dan perbaikan sel
Ketika waktu perggantian epidermal meningkat dan sel digantikan lebih lambat, penyembuhan luka lebih panjang dan kemungkinan untik menderita trauma perkutan meningkat. Penutupan luka yang lambat dapat mendorong ke arah peningkatan resiko terjadinya infeksi sekunder karena adanya kerusakan integritas kulit.infeksi sekunder sering kali terjadinya merupakan hasil dari pertumbuhan stafilokokus atau streptokokus dari luka yang tercemar dengan flora normal kulit.
Pada saat kulit mengalami penipisan dan kehilangan elastisitasnya, kulit menjadi suatu target untuk trauma. Secara klinis, kulit mudah meregang oleh tekanan yang kecil akan tetapi, kemudian berkerut dan kendur dari pada kembali lagi keposisi semula setelah peregangan tersebut.hal ini lebih lanjut merupakan predisposisi bagi individu untuk mengalami trauma. Lansia lebih rentan terhadap ulserasi pada kulit dan struktur yang lebih dalam yang diakibatkan oleh penekanan karena penurunan massa otot dan lemak padatubuhnya, juga penuruna sensitivitas mereka terhadap tekanan dan nyeri.
Braden dan bergstrom menggambarkan suatu bagan konseptual untuk menjelaskan keterkaitan antara faktor nutrisi, kelembapan, persepsi sensori, aktivitas, mobilitas, dan gesekan gesekan pengelupasan kulit dalam perkembangan dari luka akibat tekanan. Ketika cadangan nutrisi habis, hanya sedikit nutrisi yang tersedia pada saat kondisi stress. Status cairan menurun, dan massa otot rangka menurun, jaringan kehilangan itegritas strukturalnya, dan ketika trauma terjadi. Kerusakan yang timbul lambat untuk diperbaiki. Sirkulasi pembuluh darah perifer mengalami penurunan, dan pompa pusat tidak mempunyai cadangan yang cukup untuk menangani stress dan peningkatan permintaan dari perifer. Penurunan dalam peredaran darah perifer dan hilangnya lemak subkutan mengurangi perlindungan individu dari panas dan dingin. Lansia mempunyai lebih sedikit kemampuan untuk mengisolasi panas dan berkurangnya dasar kapiler untuk memfasilitasi pendinginan melalui vasodilatasi.respon hiperemi terhadap tekanan lokal minkin lambat atau tidak ada, mengkasilka iskemia jaringan yang diperpanjang dan sebagai akibatnya timbul ulserasi. Insidensi edema dependen lebih banyak ditemukan pada lansia, menyebabkan tungkai terasa berat, sakit, dan mengalami ulserasi.
Penurunan proliferasi sel dan waktu perputaran yang lebih panjang menghasilkan suatu efek yang diperpanjang pada pengiritasikulit lokal seperti deterjen cair dan agens topikal. Terapi difokuskan pada pengidentifikasikan zat yang mengganggu, menghilangkan nya dan memulai perawatan. Namun , absorpsi agens topikal untuk perawatan adalah lambat, menyebabkan respon yang sangat lambat. Pemantauan yang berkesinambungan diperlukan untuk mengakomodasi penundaan absorpsi dan respon, juga menunda waktu pembersihannya, memberikan kombinasi untuk memperpanjang efek obat topikal tersebut. Mekanisme pemberian transdermal untuk pengobatan seperti dosis dan efek sistemikyang diharapkan dari nitrogliserin harus dipantau secara ketat.

2.      Penurunan kekuatan imun
Perubahan kompetensi imun mencerminkan perubahan dalam imunitas sel, seperti penurunan fungsi dan jumlah sel t da b. Lansia menunjukkan suatu penurunan atau tidak adanya respon inflamasi.
Fenske dan lober melaporkan bahwa lokasi uji tempel kulit harus dipantau 3 minggu setelah penempelan suatu iritan yang dicurigai.kecenderungan lansia untuk menderita kanker kulit juga merupakan akibat suatu gangguan fungsi imun. Peningkatan kerentanan terhadap virus perkutan dan infeksi jamur adalah konsekuensilain dari penurunan kompetensi imun lansia. Infeksi jamur dapat menyebar dengan cepat, sering disebabkan oleh inkontensia, dan kemungkinan sulit diobati.karena penyebaran infeksi jamur kuli yang cepat, diagnosis dan perawatannya harus cepat untuk menghindari konsekuensi sistemik.

H.    Proses penyembuhan luka
Ada dua prinsip utama dalam perawatan luka. Prinsip pertama menyangkut pembersihan/pencucian luka. Luka kering (tidak mengeluarkan cairan) dibersihkan dengan teknik swabbing, yaitu ditekan dan digosok pelan-pelan menggunakan kasa steril atau kain bersih yang dibasahi dengan air steril atau nacl 0,9 %.
Sedang luka basah dan mudah berdarah dibersihkan dengan teknik irrigasi, yaitu disemprot lembut dengan air steril (kalau tidak ada bisa diganti air matang) atau nacl 0,9 %. Jika memungkinkan bisa direndam selama 10 menit dalam larutan kalium permanganat (pk) 1:10.000 (1 gram bubuk pk dilarutkan dalam 10 liter air), atau dikompres larutan kalium permanganat 1:10.000 atau rivanol 1:1000 menggunakan kain kasa.
Cairan antiseptik sebaiknya tidak digunakan, kecuali jika terdapat infeksi, karena dapat merusak fibriblast yang sangat penting dalam proses penyembuhan luka, menimbulkan alergi, bahkan menimbulkan luka di kulit sekitarnya. Jika dibutuhkan antiseptik, yang cukup aman adalah feracrylum 1% karena tidak menimbulkan bekas warna, bau, dan tidak menimbulkan reaksi alergi.
Lansia beresiko tinggi mengalami dekubitus karena adanya perubahan nutrisi, perubahan sensasi untuk perlindungan terhadap tekanan, adanya penyakit kronis, defisit perawatan diri, dukungan dirumah tidak adekuat, inkontensia, defisit, mobilitas, dan perubahan tingkat kesadaran . Pada tahun 1992 – edisi pertama presure ulcers in adult : prediction and prevention diterbitkan olek agency for health care policy and research. Petunjuk ini sangat bermanfaat dalam menentuka suatu program yang menyeluruh untuk mengidentifikasi individu yang beresiko tinggi dan strategi awal untuk pencegahan dan pemeliharaan integritas kulit.
Dekubitus terjadi terutama diatas tonjolan tulang tetapi munkin juga terjadi padadaerah jaringan lain yang tertekan .tempat terpasangnya slang , daerah di bawah restrain dan daerah jaringan lunak yang tertekan oleh suatu traksi atau bidai adalah beberapa contoh lokasi non tulang yang merupakan predisposisi terjadinya nekrosis akibat tekanan. Setiap jaringan dapat mengalami ulserasi jika terpajan tekanan dari luar yang lebih besar dibandingkan tekanan penutupan kapiler untuk jangka panjang.
Derajat ulserasi bergantung pada beberapa faktor, baik faktor instrinsik maupun ekstrinsik. Pada saat tekanan terus berlanjut tanpa interupsi, jaringan tersebut menjadi kekurangan oksigen dan nutrisi yang penting bagi metabolismesel dan kemudian sel mengalami hipoksia dan membengkak. Jika diberi tekanan pada titik ini , jaringan akan dipenuhi darah karena pembuluh darah kapiler membesar dan daerah tersebut akan berwarna kemerahan yang dikenal secara klinis sebagai hiperemia regional.dalam keadaan ini area yang berada dibawah tekanan dapat dengan sepenuhnya kembali kekondisi semula pada saat faktor resiko telah dikenali dan dihilangkan dan tindakan pencegahan dimulai. Namun , jika masalah tidak diketahui pada titik ini, tekanan tidak akan dapat dihilangkan dan edema sel akan berkembang menjadi trombosis pembuluh darah kecil, penurunan suplai oksigen yang lebih lanjut, dan jaringan akan mulai mengalami ulserasi.
Derajat lesi dibedakan atas :
1.      Lesi derajat 1 dilihat sebagai daerah berwarna merah, daerah yang jelas tidak memucat ketika ketika dilakuka palpasi ringan, yang mengidisikan adanya kerusakan jaringan yang lebih dalam.
2.      Lesi derajat 2 epidermis telah mengelupas, menampakkan dermis yang memiliki vaskularisasi sangat tinggi. Bila sensasi tetap utuh , lesi derajat 2 ini sangat menyakitkan.
3.      Lesi derajat 3 pada saat lapisan lapisan jaringan mengalami nekrosis, subkutis menjadi lebih terlibat mendorong ke arah perkembangan. Ulkus ini dapay dengan cepat mengikis bagian tepi sementara lapisan jaringan subkutan mengalami nekrosis lebih cepat dibandingkan dengan dermis yang sangat vaskuler
4.      Lesi derajat 4 mengakibatkan infeksi tulang lokal dan sulit, serta memakan waktu cukup lama untuk sembuh tanpa intrvensi pembedahan.

I.       Pengelolaan Dekubitus
Pengelolaan dekubitus diawali dengan kewaspadaan untuk mencegah terjadinya dekubitus dengan mengenal penderita risiko tinggi terjadinya dekubitus, misalnya pada penderita yang immobil dan konfusio.
Usaha untuk meremalkan terjadinya dekubitus ini antara lain dengan memakai sistem skor Norton. Skor dibawah 14 menunjukkan adanya risiko tinggi untuk terjadinya dekubitus. Dengan evaluasi skor ini dapat dilihat perkembangan penderita.
Tindakan berikutnya adalan menjaga kebersihan penderita khususnya kulit, dengan memandikan setiap hari. Sesudah keringkan dengan baik lalu digosok dengan lotion, terutama dibagian kulit yang ada pada tonjolan-tonjolan tulang. Sebaiknya diberikan massase untuk melancarkan sirkulasi darah, semua ekskreta/sekreta harus dibersihkan dengan hati-hati agari tidak menyebabkan lecet pada kulit penderita.

Tindakan selanjutnya yang berguna baik untuk pencegahan maupun setelah terjadinya dekubitus adalah:
1.       Meningkatkan status kesehatan penderita; umum; memperbaiki dan menjaga keadaan umum penderita, misalnya anemia diatasi, hipoalbuminemia dikoreksi, nutirisi dan hidarasi yang cukup, vitamin (vitamin C) dan mineral (Zn) ditambahkan khusus; coba mengatasi/mengoabati penyakit-penyakit yang ada pada penderita, misalnya DM.
2.       Mengurangi/memeratakan faktor tekanan yang mengganggu aliran darah;
a.       Alih posisi/alih baring/tidur selang seling, paling lama tiap dua jam. Keberatan pada cara ini adalah ketergantungan pada tenaga perawat yang kadang-kadang sudah sangat kurang, dan kadang-kadang mengganggu istirahat penderita bahkan menyakitkan.
b.      Kasur khusus untuk lebih memambagi rata tekan yang terjadi pada tubuh penderita, misalnya; kasur dengan gelembung tekan udara yang naik turun, kasur air yang temperatur airnya dapat diatur. (keberatan alat canggih ini adalah harganya mahal, perawatannya sendir harus baik dan dapat rusak).
c.       Regangan kulit dan lipatan kulit yang menyebabkan sirkulasi darah setempat terganggu, dapat dikurangi antara lain;
1)      Menjaga posisi penderita, apakah ditidurkan rata pada tempat tidurnya, atau sudah memungkinakan untuk duduk dikursi.
2)      Bantuan balok penyangga kedua kaki, bantal-bantal kecil utuk menahan tubuh penderita, “kue donat” untuk tumit,
3)      Diluar negeri sering digunakan kulit domba dengan bulu yang lembut dan tebal sebagai alas tubuh penderita. Begitu tampak kulit yang hiperemis pada tubuh penderita, khsusnya pada tempat-tempat yang sering terjadi dekubitus, semua usaha-usahan diatas dilakukan dengan lebih cermat untuk memperbaiki iskemia yang terjadi, sebab sekali terjadi kerusakan jaringa upaya penyembuhan akan lebih rumit.

Bila sudah terjadi dekubitus, tentukan stadium dan tindakan medik menyesuaikan apa yang dihadapi:
1.      Dekubitus derajat I
Dengan reaksi peradangan masih terbatas pada epidermis; kulit yang kemerahan dibersihkan hati-hati dengan air hangat dan sabun, diberi lotion, kemudian dimassase 2-3 kali/hari.
2.      Dekubitus derajat II
Dimana sudah terjadi ulkus yang dangkal; Perawatan luka harus memperhatikan syarat-syarat aseptik dan antiseptik. Daerah bersangkutan digesek dengan es dan dihembus dengan udara hangat bergantian untuk meransang sirkulasi. Dapat diberikan salep topikal, mungkin juga untuk meransang tumbuhnya jaringan muda/granulasi, Penggantian balut dan salep ini jangan terlalu sering karena malahan dapat merusakkan pertumbuhan jaringan yang diharapkan.
3.      Dekubitus derajat III
Dengan ulkus yang sudah dalam, menggaung sampai pada bungkus otot dan sering sudah ada infeksi; Usahakan luka selalu bersih dan eksudat disusahakan dapat mengalir keluar. Balut jangan terlalu tebal dan sebaliknya transparan sehingga permeabel untuk masukknya udara/oksigen dan penguapan. Kelembaban luka dijaga tetap basah, karena akan mempermudah regenarasi sel-sel kulit. Jika luka kotor dapat dicuci dengan larutan NaCl fisiologis. Antibiotik sistemik mungkin diperlukan.
4.      Dekubitus derajat IV
Dengan perluasan ulkus sampai pada dasar tulang dan sering pula diserta jaringan nekrotik; Semua langkah-langkah diatas tetap dikerjakan dan jaringan nekrotik yang adal harus dibersihkan, sebab akan menghalangi pertumbuhgan jaringan/epitelisasi.
Beberapa preparat enzim coba diberikan untuk usaha ini, dengan tujuan mengurangi perdarahan, dibanding tindakan bedah yang juga merupakan alternatif lain. Setelah jaringan nekrotik dibuang danluka bersih, penyembuhan luka secara alami dapat diharapkan.
Beberapa usaha mempercepat adalah antara lain dengan memberikan oksigenisasi pada daerah luka, Tindakan dengan ultrasono untuk membuka sumbatan-sumbatan pembuluh darah dan sampai pada transplantasi kulit setempat. Angka mortalitas dekubitus derajat IV ini dapat mencapai 40%.

J.      Penatalaksanaan Dekubitus
1.      Perawatan luka decubitus
2.      Penerangan untuk pasien dan keluarga
3.      Bila ulkus kecil dapat sembuh sendiri bila faktor penyebab dihilangkan.
4.      Usaha pencegahan keadaan yang lebih buruk.
5.      Mengurangi tekanan dengan cara mengubah posisi selama 5 menit setiap 2 jam.
6.      Menggunakan alas tidur yang empuk, kering dan kebersihan kulit  dijaga jangan sampai kotor karena urin dan feses.
7.      Terapi obat :
a.       Obat antibacterial topical untuk mengontrol pertumbuhan bakteri
b.      Antibiotik prupilaksis agar luka tidak terinfeksi
8.      Terapi diet
Agar terjadi proses penyembuhan luka yang cepat, maka nutrisi harus adekuat yang terdiri dari kalori, protein, vitamin, mineral dan air. Penatalaksanaan klien dekubitus memerlukan pendekatan holistic yang menggunakan keahlian pelaksana yang berasala dari beberapa disiplin ilmu kesehatan (AHCPR, 1994; Olshansky, 1994) Gambaran keseluruhan dekubitus akan menjadi dasar pembuatan pohon pengangambilan keputusan yang digunakan untuk menentukan rencana tindakan (AHCPR, 1994, Maklebust dan Siegreen, 1991).




BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

A.    Pengkajian
1.      Identitas
Umur/usia perlu ditanyakan karena adanya hubungan dengan proses penyembuhan luka atau regenerasi sel.Sedangkan ras dan suku bangsa perlu dikaji karena kulit yang tampak normal pada ras dan kebangsaan tertentu kadang tampak abnormal pada klien dengan ras dan kebangsaan lain (Smeltzer & Brenda, 2001). Pekerjaan dan hobi klien juga ditanyakan untuk mengetahui apakah klien banyak duduk atau sedikit beraktivitas sehingga terjadi penekanan pembuluh darah yang menyebabkan suplai oksigen berkurang, sel- sel tidak mendapat cukup zat makanan dan sampah hasil sisa metabolisme tertumpuk. Akhirnya sel-sel mati, kulit pecah dan terjadilah lubang yang dangkal dan luka dekubitus pada permukaan(Carpenito , L.J , 1998).

2.      Keluhan Utama
Merupakan keluhan yang paling dirasakan oleh klien sehingga ia mencari pertolongan. Keluhan yang diungkapkan klien pada umumnya yaitu adanya rasa nyeri. Lokasi luka biasanya terdapat pada daerah- daerah yang menonjol, misalnya pada daerah belakang kepala, daerah bokong, tumit, bahu, dan daerah pangkal paha yang mengalami ischemia sehingga terjadi ulkus decubitus (Bouwhuizen , 1986).

3.      Riwayat Penyakit Sekarang
Hal- hal yang perlu dikaji adalah mulai kapan keluhan dirasakan, lokasi keluhan, intensitas, lamanya atau frekuensi, faktor yang memperberat atau memperingan serangan, serta keluhan- keluhan lain yang menyertai dan upaya- upaya yang telah dilakukan perawat disini harus menghubungkan masalah kulit dengan gejalanya seperti: gatal, panas, mati rasa, immobilisasi, nyeri, demam, edema, dan neuropati (Carpenito , L.J , 1998)

4.      Riwayat Personal dan Keluarga
a.       Riwayat penyakit keluarga perlu ditanyakan karena penyembuhan luka dapat dipengaruhi oleh penyakit – penyakit yang diturunkan seperti : DM, alergi, Hipertensi (CVA).
b.      Riwayat penyakit kulit dan prosedur medis yang pernah dialami klien. Hal ini untuk memberikan informasi apakah perubahan pada kulit merupakan manifestasi dari penyakit sistemik seperti : infeksi kronis, kanker, DM

5.      Riwayat Pengobatan
Apakah klien pernah menggunakan obat- obatan. Yang perlu dikaji perawat yaitu:
a.    Kapan pengobatan dimulai.
b.    Dosis dan frekuensi.
c.    Waktu berakhirnya minum obat

6.      Riwayat Diet
Yang dikaji yaitu berat badan, tinggi badan, pertumbuhan badan dan makanan yang dikonsumsi sehari- hari. Nutrisi yang kurang adekuat menyebabkan kulit mudah terkena lesi dan proses penyembuhan luka yang lama.

7.      Status Sosial Ekonomi
Untuk mengidentifikasi faktor lingkungan dan tingkat perekonomian yang dapat mempengaruhi pola hidup sehari- hari, karena hal ini memungkinkan dapat menyebabkan penyakit kulit.


8.      Riwayat Kesehatan, seperti:
a.       Bed-rest yang lama
b.      Immobilisasi
c.       Inkontinensia
d.      Nutrisi atau hidrasi yang inadekuat

9.      Pengkajian Psikososial
Kemungkinan hasil pemeriksaan psikososial yang tampak pada klien yaitu:
a.       Perasaan depresi
b.      Frustasi
c.       Ansietas/kecemasan
d.      Keputusasaan
e.       Gangguan Konsep Diri
f.       Nyeri

10.  Aktivitas Sehari- Hari
Pasien yang immobilisasi dalam waktu yang lama maka bukan terjadi ulkus pada daerah yang menonjol karena berat badan bertumpu pada daerah kecilyang tidak banyak jaringan dibawah kulit untuk menahan kerusakan kulit. Sehingga diperlukan peningkatan latihan rentang gerak dan mengangkat berat badan. Tetapi jika terjadi paraplegi maka akan terjadi kekuatan otot tidak ada (pada ekstremitas bawah), penurunan peristaltik usus (terjadi konstipasi), nafsu makan menurun dan defisit sensori pada daerah yang paraplegi.

11.  Pemeriksaan Fisik
a.       Keadaan Umum
Umumnya penderita datang dengan keadaan sakit dan gelisah atau cemas akibat adanya kerusakan integritas kulit yang dialami.

b.      Tanda-Tanda Vital
Tekanan darah normal, nadi cepat, suhu meningkat dan respirasi rate meningkat.
c.       Pemeriksaan Kepala Dan Leher
Ø  Kepala Dan Rambut
Pemeriksaan meliputi bentuk kepala, penyebaran dan perubahan warna rambut serta pemeriksaan tentang luka. Jika ada luka pada daerah tersebut, menyebabkan timbulnya rasa nyeri dan kerusakan kulit.
Ø  Mata
Meliputi kesimetrisan, konjungtiva, reflek pupil terhadap cahaya dan gangguan penglihatan.
Ø  Hidung
Meliputi pemeriksaan mukosa hidung, kebersihan, tidak timbul pernafasan cuping hidung, tidak ada sekret.
Ø  Mulut
Catat keadaan adanya sianosis atau bibir kering.
Ø  Telinga
Catat bentuk gangguan pendengaran karena benda asing, perdarahan dan serumen. Pada penderita yang bet rest dengan posisi miring maka, kemungkinan akan terjadi ulkus didaerah daun telinga.
Ø  Leher
Mengetahui posisi trakea, denyut nadi karotis, ada tidaknya pembesaran vena jugularis dan kelenjar linfe.
d.      Pemeriksaan Dada Dan Thorax
Inspeksi bentuk thorax dan ekspansi paru, auskultasi irama pernafasan, vokal premitus, adanya suara tambahan, bunyi jantung, dan bunyi jantung tambahan, perkusi thorax untuk mencari ketidak normalan pada daerah thorax.

e.       Abdomen
Bentuk perut datar atau flat, bising usus mengalami penurunan karena inmobilisasi, ada masa karena konstipasi, dan perkusi abdomen hypersonor jika dispensi abdomen atau tegang.
f.       Urogenital
Inspeksi adanya kelainan pada perinium. Biasanya klien dengan ulkus dan paraplegi terpasang kateter untuk buang air kecil.
g.      Muskuloskeletal
Adanya fraktur pada tulang akan menyebabkan klien bet rest dalam waktu lama, sehingga terjadi penurunan kekuatan otot.
h.      Pemeriksaan Neurologi
Tingkat kesadaran dikaji dengan sistem GCS. Nilainya bisa menurun bila terjadi nyeri hebat (syok neurogenik) dan panas atau demam tinggi, mual muntah, dan kaku kuduk.

12.  Pengkajian Fisik Kulit
Pengkajian kulit melibatkan seluruh area kulit termasuk membrane mukosa, kulit kepala, rambut dan kuku. Tampilan kulit yang perlu dikaji yaitu warna, suhu, kelembaban,kekeringan, tekstur kulit (kasar atau halus), lesi, vaskularitas.
Yang harus diperhatikan oleh perawat yaitu :
a.       Warna, dipengaruhi oleh aliran darah, oksigenasi, suhu badan dan produksi pigmen.
b.      Lesi, dapat dibagi menjadi dua yaitu :
1)      Lesi primer, yang terjadi karena adanya perubahan pada salah satu komponen kulit
2)      Lesi sekunder, adalah lesi yang muncul setelah adanya lesi primer. Gambaran lesi yang harus diperhatikan oleh perawat yaitu warna, bentuk, lokasi dan kofigurasinya.


c.       Edema
Selama inspeksi kulit, perawat mencatat lokasi, distribusi dan warna dari daerah edema.
d.      Kelembaban
Normalnya, kelembaban meningkat karena peningkatan aktivitas atau suhu lingkungan yang tinggi kulit kering dapat disebabkan oleh beberapa faktor, seperti lingkungan kering atau lembab yang tidak cocok, intake cairan yang inadekuat, proses menua.
e.       Integritas
Yang harus diperhatikan yaitu lokasi, bentuk, warna, distribusi, apakah ada drainase atau infeksi.
f.       Kebersihan kulit
g.      Vaskularisasi
Perdarahan dari pembuluh darah menghasilkan petechie dan echimosis.
h.      Palpasi kulit
Yang perlu diperhatikan yaitu lesi pada kulit, kelembaban, suhu, tekstur atau elastisitas, turgor kulit.

13.  Pemeriksaan Penunjang
a.       Darah lengkap
Peningkatan tertentu awal menunjukkan hemo konsentrasi, sehubungan dengan perpindahan atau kehilangan cairan dan untuk mengetahui adanya defisiensi nutrisi pada klien. Jika terjadi leukositosis karena adanya kehilangan sel pada sisi luka dan respon inflamasi terhadap edema. Glukosa serum yang terjadi peningkatan karena respon stres.
b.      Biopsi luka
Untuk mengetahui jumlah bakteri.
c.       Kultur swab
Untuk mengidentifikasi tipe bakteri pada permukaan ulkus.
d.      Pembuatan foto klinis
Dibuat untuk memperlihatkan sifat serta luasnya kelainan kulit atau ulkus dan dipergunakan untuk perbaikan setelah dilakukan terapi.

B.     Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul
1.      Nyeri akut berhubungan dengan kerusakan kulit atau jaringan, perawatan luka.
2.      Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, ketidak mampuan memasukkan makanan melalui mulut.
3.      Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kerusakan mekanis dari jaringan sekunder akibat tekanan dan gesekan.
4.      Kerusakan mobilitas fisik bergubungan dengan nyeri atau tak nyaman, penurunan kekuatan dan tahanan.
5.      Koping individu inefektif  berhubungan dengan luka kronis, relaksasi tidak adekuat, metode koping tidak efektif.
6.      Gangguan citra tubuh berhubungan dengan hilangnya lapisan kulit, kecacatan, nyeri.
7.      Kurang Pengetahuan berhubungan dengan kurang terpajannya informasi, salah interpretasi informasi, tidak mengenal sumber informasi.
8.      Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan kerusakan jaringan kulit, pemajangan ulkus decubitus terhadap feses/drainase urine dan personal hygiene yang kurang.




C.    Intervensi
No. DX
TUJUAN DAN KH
INTERVENSI
RASIONAL
DX. 1
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam, diharapkan nyeri pasien berkurang dengan KH :
1.       Klien melaporkan nyeri berkurang atau terkontrol
2.       Menunjukkan ekspresi wajah atau postur tubuh rileks
1.       Tutup luka sesegera mungkin.
2.       Tinggikan ekstremitas yang terdapat luka secara periodik.
3.       Beri tempat tidur yang dapat diubah ketinggiannya.
4.       Ubah posisi dengan sering dan ROM secara pasif maupun aktif sesuai indikasi.
5.       Perhatikan lokasi nyeri dan intensitas (skala 0-10).
6.       Berikan tindakan kenyamanan seperti pijatan pada area yang tidak sakit, perubahan posisi dengan sering.
7.       Dorong penggunaan tehnik manajemen stress. Seperti relaksasi progresif,napas dalam.
8.       Tingkatkan periode tidur tanpa gangguan.


9.       Kolaborasi dalam pemberian analgesik sesuai indikasi.
1.       Suhu berubah dan gesekan udara dapat menyebabkan nyeri hebat pada pemajanan ujung kulit.
2.       Untuk menurunkan pembentukan edema, menurunkan ketidak nyamanan.
3.       Peninggian linen dari luka membantu menurunkan nyeri.
4.       Menurunkan kekakuan sendi
5.       Perubahan lokasi/intensitas nyeri mengindikasikan terjadinya komplikasi.
6.       Meningkatkan relaksasi, menurunkan tegangan otot.
7.       Memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan relaksasi dan meningkatkan rasa kontrol.


8.       Kekurangan tidur meningkatkan persepsi nyeri.
9.       Untuk mengurangi rasa nyeri yang ada
DX. 2
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam, diharapkan kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi dengan KH :
1.       Nutrisi adekuat (sesuai dengan kebutuhan)
2.       Tidak mual dan muntah
3.       Berat badan stabil
1.       Auskultasi bising usus.
2.       Anjurkan makan sedikit tapi sering.
3.       Dorong pasien untuk memandang diet sebagai pengobatan dan untuk membuat pilihan makanan / minuman tinggi kalori/protein.
4.       Lakukan oral hygiene sebelum makan.
5.       Kolaborasi dengan ahli gizi dalam pemberian nutrisi.
1.       Immobilitas dapat menutunkan bising usus.
2.       Membantu mencegah distensi gaster atau ketidaknyamanan dan meningkatkan pemasukan.
3.       Kalori dan protein diperlukan untuk mempertahankan berat badan dan meningkatkan penyembuhan.
4.       Mulut yang bersih dapat meningkatkan rasa dan nafsu makan yang baik.
5.       Untuk memenuhi kebutuhan nutrisi.
DX. 3
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam, diharapkan integritas kulit pasien teratasi dengan KH :
1.      Menunjukkan regenerasi jaringan.
2.      Menunjukkan penyembuhan decubitus
1.      Observasi ukuran, warna, kedalaman luka, jaringan nekrotik dan kondisi sekitar luka.
2.      Pantau/ evaluasi tanda- tanda vital dan perhatikan adanya demam.
3.      Identifikasi derajat perkembangan luka tekan (ulkus).
4.      Lakukan perawatan luka dengan tehnik aseptik dan antiseptik.
5.      Bersihkan jaringan nekrotik.
6.      Kolaborasi:
a.        Irigasi luka.
b.        Beri antibiotik oral,topical, dan intra vena sesuai indikasi.
c.        Ambil kultur luka.
1.      Untuk mengetahui sirkulasi pada daerah yang luka.
2.      Demam mengidentifikasikan adanya infeksi.
3.      Mengetahui tingkat keparahan pada luka.
4.      Mencegah terpajan dengan organisme infeksius, mencegah kontaminasi silang, menurunkan resiko infeksi.
5.      Mencegah auto kontaminasi
6.      Kolaborasi :
a.        Membuang jaringan nekrotik / luka eksudat untuk meningkatkan penyembuhan.
b.        Mencegah atau mengontrol infeksi.
c.        Untuk mengetahui pengobatan khusus infeksi luka.
DX. 4
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam, diharapkan kerusakan mobilitas fisik pasien teratasi dengan KH :
1.      Klien mampu beraktivitas, miring kanan miring kiri dengan dibantu oleh keluarga
2.      Keadaan luka membaik

1.      Anjurkan keluarga membantu klien mobilisasi.
2.      Atur posisi klien tiap 2 jam.
3.      Bantu klien untuk latihan rentang gerak secara konsisten yang diawalai dengan pasif kemudian aktif.
4.      Dorong partisipasi klien dalam semua aktivitas sesuai kemampuannya.
5.      Buat jadwal latihan secara teratur.
6.      Tingkatkan latihan ADL melalui fisioterapi, hidroterapi, dan perawatan.
7.      Kolaborasi dengan fisioterapi
1.      Menghilangkan tekanan pada daerah yang terdapat ulkus.
2.      Penghilangan tekanan intermiten memungkinkan darah masuk kembali ke kapiler yang tertekan.
3.      Mencegah secara progresif untuk mengencangkan jaringan parut dan meningkatka pemeliharaan fungsi otot atau sendi.
4.      Meningkatkan kemandirian dan harga diri.
5.      Mengurang kelelahan dan meningkatkan toleransi terhadap aktivitas.
6.      Meningkatkan hasil latihan secara optimal dan maksimal.
7.      Membantu melatih pergerakan
DX. 5
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 1 x 24 jam, diharapkan koping klien efektif dengan KH :
1.      Menyatakan kesadaran kemampuan koping / kekuatan pribadi
2.      Mendemonstrasikan metode koping efektif.
1.      Kaji keefektifan strategi koping dengan mengobservasi perilaku. Misalnya kemampuan menyatakan perasaan dan perhatian.
2.      Bantu pasien untuk mengidentifikasi stresor spesifik dan kemungkinan strategi untuk mengatasinya.
3.      Beri reinforcement positif dan support mental pada klien.
1.      Mekanisme adaptif perlu untuk mengubah pola hidup seseorang.
2.      Pengenalan terhadap stresor adalah langkah pertama dalam mengubah respon seseorang terhadap stresor.
3.      Dukungan dapat meningkatkan kepercayaan diri klien.`
DX. 6
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 1 x 24 jam, diharapkan gangguan citra tubuh pasien teratasi dengan KH :
1.      Menyatakan penerimaan situasi diri.
2.      Memasukan perubahan dalam konsep diri tanpa harga diri negatif.
1.      Kaji perubahan pada pasien.
2.      Berikan harapan dalam parameter situasi individu, jangan memberikan keyakinan yang salah.
1.      Episode traumatik mengakibatkan perubahan tiba-tiba.
2.      Meningkatkan perilaku positif individu.
DX. 7
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 1 x 30 menit, diharapkan pasien dan keluarga mengetahui tentang penyakitnya dengan KH :
1.       Menyatakan pemahaman kondisi, prognosis, dan pengobatan.
2.       Berpartisipasi dalam program pengobatan
1.         Kaji tingkat pemahaman klien dan keluarga terhadap proses penyakit.
2.         Beri HE tentang penyakit, pencegahan, dan pengobatannya.
3.         Tekankan pentingnya melanjutkan pemasukan diet tinggi kalori dan protein.
4.         Identifikasi tanda dan gejala yang memerlukan evaluasi medik seperti inflamasi, demam, perubahan karakteristik nyeri.
1.       Memberikan kesempatan untuk memberikan informasi tambahan sesuai keperluan.
2.       Meningkatkan pengetahuan klien dan keluarga agar dapat mencegah dan mengikuti terapi pengobatan.

3.       Nutrisi optimal meningkatkan regenerasi jaringan dan penyembuhan umum kesehatan.
4.       Deteksi dini terjadinya komplikasi.
DX. 8
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam, diharapkan resiko infeksi klien teratasi dengan KH :
1.       Mencapai penyembuhan luka tepat pada waktunya dan bebas dari jaringan eksudat, demam atau mengigil.
1.       Observasi tanda vital. Perhatikan demam, mengigil, berkeringat, peningkatan nyeri.
2.       Catat warna kulit, suhu, kelembaban.
3.       Ganti laken yang sudah kotor dengan yang bersih.
4.       Jaga kebersihan diri pasien.
1.       Dugaan adanya infeksi.
2.       Hangat, kemerahan, merupakan tanda awal dari infeksi.
3.       Laken yang kotor tempat bakteri berkembangbiak sehingga sangat beresiko untuk terinfeksi.
4.       Mengurangi resiko infeksi.

D.    Implementasi
(sesuai dengan intervensi)

E.     Evaluasi
DX.1 :
1.       Klien melaporkan nyeri berkurang atau terkontrol
2.       Menunjukkan ekspresi wajah atau postur tubuh rileks

DX.2 :
1.       Nutrisi adekuat (sesuai dengan kebutuhan)
2.       Tidak mual dan muntah
3.       Berat badan stabil
DX.3 :
1.       Menunjukkan regenerasi jaringan.
2.       Menunjukkan penyembuhan decubitus
DX.4 :
1.        Klien mampu beraktivitas, miring kanan miring kiri dengan dibantu oleh keluarga
2.        Keadaan luka membaik
DX.5 :
1.       Menyatakan kesadaran kemampuan koping / kekuatan pribadi
2.       Mendemonstrasikan metode koping efektif.
DX.6 :
1.       Menyatakan penerimaan situasi diri.
2.       Memasukan perubahan dalam konsep diri tanpa harga diri negatif.
DX.7 :
1.       Menyatakan pemahaman kondisi, prognosis, dan pengobatan.
2.       Berpartisipasi dalam program pengobatan
DX.8 :
1.       Mencapai penyembuhan luka tepat pada waktunya dan bebas dari jaringan eksudat, demam atau mengigil.





BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Proses penuaan epidermis mengalami perubahan ketebalan sangat sedikit seiring penuaan sesorang. Namun, terdapat perlambatan dalam proses perbaikan sel, jumlah sel basal yang lebih sedikit, dan penurunan jumlah dan kedalaman rete ridge. Rete ritge dibentuk oleh penonjolan epidermal dari lapisan basal yang mengarah kebawah kedalam dermis. Pendataran dari rete ridge tersebut mengurangi area kontak antara epidermis dan dermis, menyebabkan mudah terjadi pemisahan antara lapisan-lapisan kulit ini. Akibatnya adalah proses penyembuhan kulit yang rusak ini lambat dan merupakan predisposisi infeksi bagi individu tersebut. Kulit dapat mengelupas akibat penggunaan plester atau zat lain yang dapat menimbulkan gesekan. Oleh karena itu, penting untuk menggunakan suatu perekat yang tidak lebih kuat dari taut epidermal-dermal itu sendiri untuk mencegah atau meminimalkan cedera akibat penggunaan plester.
Pada saat individu mengalami penuaan, volume dermal mengalami penurunan, dermis menjadi tipis, dan jumlah sel biasanya menurun. Konsekuensi fisiologis dari perubahan ini termasuk penundaan atau penekanan timbulnya penyakit pada kulit, penutupan dan penyembuhan luka lambat, penurunan termoregulasi, penurunan respon inflamasi, dan penurunan absorbsi kulit terhadap zat-zat topical.
Perubahan degeneratif dalam jaringan elastis dimulai sekitar usia 30 tahun. Serabut elastis dan jaringan kolagen secara bertahap dihancurkan oleh enzim-enzim, menghasilkan perubahan dalam penglihatan karena adanya kantung dan pengeriputan pada daerah sekitar mata. Pada saat elastisitas menurun, dermis meningkatkan kekuatan peregangannya; hasilnya adalah lebih sedikit ‘’melentur’’ ketika kulit mengalami tekanan. Organisasi kolagen menjadi tidak teratur, dan turgor kulit hilang.

daftar pustaka

Steanley, Mickey. Patresia, G.B. 2006. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Jakarta:Egc
Capernito, Linda Juall. 1999. Rencana Diagnosa Dan Dokumentasi Keperawatan: Diagnosa Keperawatan Dan Masalah Kolaboratif Ed.2. Jakarta : Egc.
Doenges, Marilynn E. 2000. Rencana Keperawatan : Pedoman Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : Egc.
Nurachman, Elly. 2001. Nutrisi Dalam Keperawatan. Jakarta : Sagung Seto



Comments

Popular posts from this blog

Konsep Cairan dan Elektrolit Tubuh

Makalah Konsep Dasar Teori Air Susu Ibu (ASI)