Fenomena
Kehamilan Remaja (Kehamilan Usia Dini) dan Faktor Penyebabnya
Perkawinan usia dini adalah perkawinan
yang dilakukan oleh seorang wanita dibawah usia 20 tahun (Hidayati, 2007 dalam
Aryanti, 2014). Perkawinan usia dini mencermikan rendahnya status wanita dan
merupakan tradisi sosial yang menopang tingginya tingkat kesuburan. Hal ini,
menyebabkan periode melahirkan yang dihadapi oleh seorang wanita yang kawin
usia dini lebih panjang, disamping risiko persalinan yang semakin tinggi karena
secara fisik mereka belum siap melahirkan (Romauli dan Vindari, 2009 dalam
Aryanti, 2014).
Perkawinan usia muda yang menjadi
fenomena sekarang ini pada dasarnya merupakan satu siklus fenomena yang
terulang dan tidak hanya terjadi di daerah pedesaan yang dipengaruhi oleh
minimnya kesadaran dan pengetahuan namun juga terjadi di wilayah perkotaan yang
secara tidak langsung juga dipengaruhi oleh “role model” dari dunia hiburan
yang ditonton. Penelitian yang dilakukan oleh Ikatan Sosiologi Indonesia (ISI)
Provinsi Jawa Barat mengungkapkan fakta masih tingginya pernikahan di usia muda
di pulau Jawa dan Bali. Diantara wilayah-wilayah tersebut, Jawa Barat di posisi
pertama dalam jumlah pasangan yang menikah di usia muda dimana dari 1000
penduduknya dengan usia 15 hingga 19 terdapat 126 orang yang menikah dan
melahirkan di usia muda. Kemudian diikuti dengan DKI Jakarta dengan 44 orang
(DEPKES RI, 2006)
Menurut Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN) usia untuk hamil dan melahirkan adalah 20 sampai 30
tahun, lebih atau kurang dari usia tersebut adalah beresiko. Kesiapan seseorang
perempuan untuk dan melahirkan atau mempunyai anak ditentukan oleh kesiapan
dalam tiga hal, yaitu kesiapan fisik, kesiapan mental/emosi/ psikologis dan
kesiapan sosial/ekonomi. Secara umu, seseorang perempuan dikatakan siap secara
fisik jika telah menyelesaikan pertumbuhan tubuhnya (ketika tubuhnya berhenti
tumbuh), yaitu sekitar usia 20 tahun. Sehingga usia 20 tahun bisa dijadikan
pedoman kesiapan fisik (BKKBN, 2005 dalam Rosmawar, 2014)
Menurut Depkes RI resiko kehamilan
pada usia dini adalah rahim dan panggul belum mencapai ukuran dewasa, ditinjau
dari segi gizi kehamilan pada remaja merupakan hal yang beresiko. Gizi yang
diperlukan oleh para remaja yang hamil ini berkompetisi antara kebutuhan mereka
terhadap pertumbuhan dan perkembangan dan perkembangan janin. Beresiko
terjadinya anemia, bayi prematur, bayi berat lahir rendah, kematian bayi dan
penyakit menular seksual meningkat pada remaja yang hamil sebelum usia 19 tahun
(Manuaba, 2007)
Kehamilan usia dini (usia muda/remaja)
adalah kehamilan yang terjadi pada remaja putri berusia <20 tahun. Kehamilan
tersebut dapat disebabkan oleh karena hubungan seksual (hubungan intim) dengan
pacar, dengan suami, pemerkosaan, maupun faktor-faktor lain yang menyebabkan
sperma membuahi telurnya dalam rahim perempuan tersebut (Masland, 2004)
Menurut Susanti (2008), kehamilan pada
remaja dapat menimbulkan masalah karena pertumbuhan tubuhnya belum sempurna,
kurang siap dalam sosial ekonomi, Universitas Sumatera Utara kesulitan dalam
persalinan, atau belum siap melaksanakan peran sebagai ibu. Alasan kehamilan
pada remaja adalah:
1. Kecelakaan (hamil di luar nikah)
2. Untuk mendapatkan tunjangan
kesejahteraan
3. Ingin anak
4. Ingin berperan
5. Faktor hubungan
6. Keinginan untuk meniru saudara yang
sedang hamil pada usia remaja
Wanita usia kurang dari 20 tahun tidak
diperbolehkan hamil karena dapat menimbulkan komplikasi pada saat kehamilan.
Menurut Fadlyana dan Larasaty (2009) mengatakan bahwa wanita yang berusia 10-14
tahun berisiko 5 kali lipat mengalami kematian saat kehamilan dan persalinan
dibandingkan pada usia 20-24 tahun sedangkan wanita yang berusia 15-19 tahun
berisiko 2 kali lipat mengalami kematian saat kehamilan dan persalinan.
Menurut Seth Ammerman dan Mary-Ann
Shafer terdapat satu juta remaja di Amerika Serikat mengalami kehamilan setiap
tahunnya, dengan 50% kehamilan ini diakhiri dengan abortus terapeutik. Bagi
remaja yang mempertahankan kehamilan hingga aterm, kira-kira 95% remaja
memutuskan untuk mengasuh anak, dan kira-kira setengah ibu remaja tersebut
tidak menikah. Faktor-faktor yang menempatkan para perempuan muda tersebut pada
risiko kehamilan yang tidak diinginkan dan interaksi faktor-faktor tersebut
sangat kompleks. Kurangnya pemahaman akan hubungan seksual dan kontrasepsi
berperan pada berlangsungnya pemahaman mengenai kehamilan terutama di antara
pada remaja yang lebih muda. Imaturitas kognitif mengakibatkan kesulitan pada
remaja untuk mengaitkan tindakan hubungan seksual dengan akibat yang mungkin
berupa kehamilan dan kemudian penilaian risiko yang sesungguhnya untuk terjadi
kehamilan. Faktor-faktor lingkungan, terutama kemiskinan dan penyalahgunaan
zat, membuat orang tua remaja sulit mengendalikan anak perempuan mereka. Juga,
ambivalensi masyarakat terhadap aktivitas seksual remaja, kontrasepsi,
kehamilan dan sikap orang tua berperan sebagai penghambat perkembangan dan
berlanjutnya intervensi (Rudolph, 2014).
Beberapa faktor yang menyebabkan
remaja tidak mengetahui resiko kehamilan diusia muda antara lain ialah
kurangnya informasi tentang kesehatan, rendahnya interaksi ditengah-tengah
keluarga, kerabat dan masyarakat, keluarga yang tertutup terhadap informasi
seks dan seksualitas, menabukan masalah seks dan seksualitas, kesibukan orang
tua, dan kurang perhatiannya orang tua terhadap remaja (Mambang, 2014).
Perkawinan dan kehamilan remaja
mengandung sejumlah risiko buruk dalam jangka panjang (Nurhajati, 2012).
Pertama, dengan rentang usia reproduksi yang masih panjang (umumnya hingga 49
tahun), perempuan yang menikah dan hamil diusia remaja akan memiliki peluang untuk
memiliki anak dalam jumlah banyak pada akhir usia reproduksinya. Melahirkan
anak dengan jumlah banyak akan beresiko kematian ibu yang lebih tinggi.
Kedua, kehamilan dan persalinan bagi
perempuan dibawah 20 tahun beresiko kematian yang jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan usia 20 tahun keatas. Tak hanya sang ibu, juga anak yang
dilahirkan memiliki resiko kematian atau cacat yang tinggi.
Ketiga, perkawinan dan kehamilan
diusia remaja menghambat perempuan menempuh pendidikan lebih tinggi.
Keempat, karena belum dewasa dan
matang sepenuhnya secara psikologis maka kemungkinan terjadinya perceraian pada
perkawinan usia muda akan sangat tinggi. Perceraian akibat pernikahan usia muda
menjadi salah satu riset utama yang dilakukan Kierna (1986), dari hasil risetnya
terlihat bahwa resiko perceraian sangat tinggi terjadi pada pasangan yang
menikah di usia muda dibandingkan pada mereka-mereka yang menikah di usia
matang.
Banyak teori dan analisis mengenai
penyebab dari terjadinya kehamilan remaja di suatu negara.
Faktor-faktor yang berkontribusi dalam
terjadinya kehamilan remaja antara lain (Doddy, 2006 dalam Palinoan, 2014):
1. Tradisi atau kebiasaan yang menyebabkan
terjadinya pernikahan dini.
2. Kebiasaan seksual remaja yang
dipengaruhi oleh alkohol dan obat-obatan.
3. Kurangnya pendidikan dan informasi
mengenai kesehatan reproduksi dan kurangnya akses untuk kontrasepsi.
4. Pelecehan seksual dan pemerkosaan.
5. Kemiskinan.
6. Kekerasan dalam rumah tangga.
7. Kurang perhatian dari orangtua.
8. Pendidikan yang rendah.
Sedangkan WHO memilah beberapa
penyebab dari kehamilan usia dini di berbagai negara, yaitu:
1. Faktor
kemiskinan
Furstenberg dan Mawer menyatakan bahwa
keluarga miskin memiliki kesempatan dan kemampuan yang lebih rendah dalam
menunda atau mencegah kehamilan remaja hal ini dihubungkan dengan kondisi
sosial ekonominya.
2. Faktor
sosial budaya
Di Indonesia, usia yang dilegalkan
untuk menikah adalah 16 tahun untuk wanita, sesuai dengan undang – undang nomor
1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 7, membatasi usia seorang perempuan boleh
menikah minimal 16 tahun dan laki-laki 19 tahun.
3. Kebiasaan
seksual dan penggunaan kontrasepsi
Bagian yang lebih penting dari sekedar
usia saat menikah yaitu usia saat pertama kali berhubungan seksual di luar
pernikahan dimana merupakan salah satu faktor penting menentukan tingkat
kehamilan remaja.
4. Pelecehan
seksual
5. Pendidikan
Efek dari pendidikan pada perkembangan
remaja telah membuat ketergantungan remaja kepada orangtua dan keluarga
menurun, menunda usia saat menikah, dan lebih meningkatkan pengetahuan remaja
mengenai proses reproduksi dan tentang masalah kontrasepsi. Namun tingginya
tingkat pendidikan kadang tidak diimbangi dengan informasi seks pada remaja
yang memadai. Kurangnya pengetahuan remaja tentang proses reproduksi dapat
disebabkan berbagai faktor.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian,
faktor-faktor yang mempengaruhi perkawinan di usia dini adalah:
1. Peran
orang tua
Di negara berkembang salah satu faktor
yang menyebabkan orangtua menikahkan anak usia dini karena kemiskinan. Orangtua
beranggapan bahwa anak perempuan merupakan beban ekonomi dan perkawinan
merupakan usaha untuk mempertahankan kehidupan keluarga (UNICEF, 2000 dalam
Rafidah, 2009).
Kurangnya perhatian khususnya dari
orang tua remaja untuk dapat memberikan pendidikan seks yang baik dan benar.
Dimana dalam hal ini orang tua bersikap tidak terbuka terhadap anak bahkan
cenderung membuat jarak dengan anak dalam masalah seksual (Palinoan, 2014).
Di dalam penelitian Naibaho (2014)
menyatakan faktor keluarga merupakan faktor adanya perkawinan usia muda, dimana
keluarga dan orang tua akan segera menikahkan anaknya jika sudah menginjak masa
dewasa. Hal ini merupakan hal yang sudah biasa atau turun-temurun. Sebuah
keluarga yang mempunyai anak gadis tidak akan merasa tenang sebelum anak
gadisnya menikah. Orang tua akan merasa takut apabila anaknya akan melakukan
ha-hal yang tidak diinginkan yang akan mencemari nama baik keluarganya.
2. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu,
dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek
tertentu. Pengetahuan dapat diperoleh melalui suatu proses belajar.
Pengetahuan seksual yang
setengah-setengah mendorong gairah seksual sehingga tidak bisa dikendalikan.
Hal ini akan meningkatkan resiko dampak negatif seksual. Dalam keadaan orang
tua yang tidak terbuka mengenai masalah seksual, remaja akan mencari informasi
tersebut dari sumber yang lain, teman-teman sebaya, buku, majalah, internet,
video atau bluefilm. Mereka sendiri belum dapat memilih mana yang baik dan
perlu dilihat atau mana yang harus dihindari. (Palinoan, 2014)
3. Sosial
budaya
Tradisi atau kebudayaan adalah
perilaku normal, kebiasaan, nilai-nilai dan penggunaan sumber didalam suatu
masyarakat bersama, tradisi atau kebudayaan selalu berubah baik lambat maupun cepat sesuai
dengan peradaban manusia Sosial budaya juga mempengaruhi kehamilan usia remaja.
Di pedesaan perkawinan terjadi pada saat umur belia yang diikuti dengan
kehamilan. Hal ini karena budaya yang masih melekat dengan asumsi untuk
membebaskan tanggung jawab orang tua maka mereka akan menyerahkan tugasnya pada
suami dengan menikahkan anaknya, perkawinan di usia remaja sebagai hal yang
wajar dalam adat istiadat sebagian wilayah Indonesia bila anak gadisnya belum
memperoleh jodoh, orangtua akan merasa malu bila anak gadisnya belum menikah
4. Gaya
hidup dan Perilaku seks
Gaya hidup dan perilaku seks yang
bebas mempercepat peningkatan kejadian kehamilan pada remaja. Hal ini
disebabkan oleh cepatnya pertumbuhan dan perkembangan remaja dan masa menarche
yang dirangsang oleh banyaknya media yang mempertontonkan kehidupan seks.
5. Ekonomi
Keadaan ekonomi yang tidak mencukupi
mendorong seseorang mencari pelindung yang bertanggung jawab penuh terhadap
dirinya hal ini hanya dapat tercapai bila menikah dan untuk memperingan beban
dan tanggung jawab orang tua yang tidak bertanggung jawab.
6. Pendidikan
orang tua
Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan Martino dkk (2004) dalam Jurnal Penelitian Nur Marlina mengatakan
bahwa tingkat pendidikan orang tua sangat mempengaruhi kecenderungan pada anak
untuk menikah dini karena pendidikan orang tua yang rendah sangat rentan untuk
anak melakukan pernikahan dini. Hal ini disebabkan karena orang tua kurang
memiliki pengetahuan dan wawasan tentang dampak dari pernikahan dini sehingga
orang tua juga mendukung anak untuk melakukan pernikahan dini.
7. Putus
sekolah
Pendidikan merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi persepsi seseorang, dengan pendidikan tinggi seseorang akan
lebih mudah menerima atau memilih suatu perubahan yang lebih baik (Suprapto,
2004 dalam Naibaho, 2014). Tingkat pendidikan menggambarkan tingkat kematangan
kepribadian seseorang dalam merespon lingkungan yang dapat mempengaruhi wawasan
berpikir atau merespon pengetahuan yang ada di sekitarnya.
Dari hasil penelitian Naibaho (2014)
diperoleh bahwa rata-rata pendidikan orang tua maupun informan itu sendiri
masih tergolong rendah. Tidak ada informan yang melanjutkan pendidikannya ke
perguruan tinggi. Tinggi rendahnya usia kawin pertama adalah rendahnya akses
kepada pendidikan. Rendahnya tingkat pendidikan disebabkan oleh ekonomi
keluarga yang kurang. Kekurangan biaya menjadi kendala bagi kelanjutan
pendidikan
8. Kehamilan
tidak diinginkan (KTD)
Penelitian di Indonesia menunjukkan
bahwa terkadang pernikahan diusia muda terjadi sebagai solusi untuk kehamilan
yang terjadi diluar nikah. Menurut Sarwono (2012) pernikahan diusia muda banyak
terjadi pada masa pubertas, hal ini terjadi karena remaja sangat rentan
terhadap perilaku seksual yang membuat mereka melakukan aktivitas seksual
sebelum menikah. Hal ini juga terjadi karena adanya kebebasan pergaulan antar
jenis kelamin pada remaja, dengan mudah bisa disaksikan dalam kehidupan
sehari-hari (Sarwono, 2003 dalam Naibaho, 2014)
9. Media
Pergaulan yang salah serta penyampaian
dan penyalahgunaan dari media elektronik yang salah. Dapat membuat para remaja
berpikiran bahwa seks bukanlah hal yang tabu lagi tapi merupakan sesuatu yang
lazim (Palinoan, 2014).
Comments
Post a Comment