Upaya kolaboratif dalam meningkatkan kesehatan maternal dan perinatal

Image
  Upaya kolaboratif dalam meningkatkan kesehatan maternal dan perinatal Upaya kolaboratif dalam meningkatkan kesehatan maternal dan perinatal sangat penting untuk mencapai hasil yang optimal. Berikut ini adalah beberapa contoh upaya kolaboratif yang dapat dilakukan: 1.       Kolaborasi antara tenaga medis dan bidan: Tim medis yang terdiri dari dokter, perawat, dan bidan dapat bekerja sama untuk memberikan pelayanan kesehatan yang holistik kepada ibu hamil dan bayi yang akan lahir. Dengan saling berbagi pengetahuan dan keterampilan, mereka dapat meningkatkan pemantauan kehamilan, memberikan perawatan prenatal yang tepat, dan menangani komplikasi saat melahirkan. 2.       Kemitraan antara lembaga kesehatan dan masyarakat: Kolaborasi antara fasilitas kesehatan, organisasi non-pemerintah, dan masyarakat lokal dapat membantu meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesehatan maternal dan perinatal. Misalnya, mengadakan kampanye penyuluhan dan program edukasi di komunitas mengenai perawa

HUBUNGAN GAYA KEPEMIMPINAN DENGAN DISIPLIN KERJA PADA PEGAWAI DI SMK


HUBUNGAN GAYA KEPEMIMPINAN DENGAN DISIPLIN KERJA PADA PEGAWAI DI SMK
 
BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Kepemimpinan atau leadership merupakan ilmu terapan dari ilmu-ilmu social, sebab prinsip-prinsip dan rumusannya diharapkan dapat mendatangkan manfaat bagi kesejahteraan manusia. Ada banyak pengertian yang dikemukakan oleh para pakar menurut sudut pandang masing-masing, definisi-definisi tersebut menunjukkan adanya beberapa kesamaan.
Menurut Young (dalam Kartono, 2003) Pengertian Kepemimpinan yaitu bentuk dominasi yang didasari atas kemampuan pribadi yang sanggup mendorong atau mengajak orang lain untuk berbuat sesuatu yang berdasarkan penerimaan oleh kelompoknya, dan memiliki keahlian khusus yang tepat bagi situasi yang khusus. Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kepemimpnan merupakan kemampuan mempengaruhi orang lain, bawahan atau kelompok, kemampuan mengarahkan tingkah laku bawahan atau kelompok, memiliki kemampuan atau keahlian khusus dalam bidang yang diinginkan oleh kelompoknya, untuk mencapai tujuan organisasi atau kelompok.
 Macam-Macam Gaya Kepemimpinan yaitu Gaya Kepemimpinan Otoriter / Authoritarian, Gaya Kepemimpinan Demokratis / Democratic, Gaya Kepemimpinan Bebas / Laissez Faire. Keempat gaya kepemimpinan berdasarkan kepribadian adalah Gaya Kepemimpinan Karismatis, Gaya Kepemimpinan Diplomatis, Gaya Kepemimpinan Otoriter,Gaya Kepemimpinan Moralis
Sekolah merupakan salah satu bentuk organisasi pendidikan. Kepala sekolah merupakan pemimpin pendidikan di sekolah. Jika pengertian kepemimpinan tersebut diterapkan dalam organisasi pendidikan, maka kepemimpinan pendidikan bisa diartikan sebagai suatu usaha untuk menggerakkan orang-orang yang ada dalam organisasi pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan. Hal ini sesuai dengan pendapat Nawawi (1985) yang mengemukakan bahwa kepemimpinan pendidikan adalah proses mempengaruhi, menggerakkan, memberikan motivasi, dan mengarahkan orang-orang yang ada dalam organisasi pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan.
Dalam organisasi pendidikan yang menjadi pemimpin pendidikan adalah kepala sekolah. Sebagai pemimpin pendidikan, kepala sekolah memiliki sejumlah tugas dan tanggung jawab yang cukup berat. Untuk bisa menjalankan fungsinya secara optimal, kepala sekolah perlu menerapkan gaya kepemimpinan yang tepat.
Peranan utama kepemimpinan kepala sekolah tersebut, nampak pada pernyataan-pernyataan yang dikemukakan para ahli kepemimpinan. Knezevich yang dikutip Indrafachrudi (1983) mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah sumber energi utama ketercapaian tujuan suatu organisasi. Di sisi lain, Owens (1991) juga menegaskan bahwa kualitas kepemimpinan merupakan sarana utama untuk mencapai tujuan organisasi. Untuk itu, agar kepala sekolah bisa melaksanakan tugasnya secara efektif, mutlak harus bisa menerapkan kepemimpinan yang baik.
Ada banyak teori gaya kepemimpinan yang bisa diterapkan kepala sekolah. Bila ditelaah dari perkembangan teori, ada banyak teori kepemimpinan yang bisa ditelaah untuk mengkaji masalah kepemimpinan. Teori kepemimpinan yang pertama-tama dikembangkan adalah teori sifat atau trait theory. Pada dasarnya teori sifat memandang bahwa keefektifan kepemimpinan itu bertolak dari sifat-sifat atau karakter yang dimiliki seseorang. Keberhasilan kepe-mimpinan itu sebagian besar ditentukan oleh sifat-sifat kepribadian tertentu, misalnya harga diri, prakarsa, kecerdasan, kelancaran berbahasa, kreatifitas termasuk ciri-ciri fisik yang dimiliki seseorang. Pemimpin dikatakan efektif bila memiliki sifat-sifat kepribadian yang baik. Sebaliknya, pemimpin dikatakan tidak efektif bila tidak menunjukkan sifat-sifat kepribadian yang baik.
Penelitian tentang kepemimpinan berdasarkan trait theory ini telah banyak dilakukan. Stogdil membedakan tiga karakteristik yang menunjukkan pemimpin yang efektif, yaitu (1) kepribadian, (2) kemampuan, dan (3) ketrampilan sosial (Feldmon & Arnold, 1983). Pada perkembangan selanjutnya, oleh Bass dan Stogdil, diklasifikasi menjadi dua, yaitu traits yang antara lain mencakup karakter tegas, bekerja sama, berpengaruh, memiliki keyakinan diri, energik, dan bertanggung jawab, dan skill yang antara lain mencakup pandai, kreatif, lancar berbicara, memiliki kemampuan konseptual dan ketrampilan sosial. Dari sejumlah traits tersebut, selanjutnya diklasifikasi menjadi lima dimensi besar, yaitu surgence, agreeableness, conscientiousness, emotional stability, dan intellectance (Lunenburg & Ornstein, 2000).
Berdasarkan beberapa hasil studi, ditemukan keterbatasan trait theory yakni terlalu menekankan pada karakter personal pemimpin. Keberhasilan kepemimpinan tidak semata-mata ditentukan oleh karakter personal, tetapi justru banyak ditentukan dari apa yang dilakukan pemimpin. Keefektifan kepemimpinan banyak tergantung pada perilaku yang diterapkan pemimpin dalam situasi organisasi. Untuk itu, muncul teori-teori yang bertolak dari pendekatan perilaku yang dikenal dengan istilah behavior theory.
Teori kepemimpinan berdasarkan pendekatan perilaku tersebut tidak didasarkan pada sifat atau ciri-ciri kepribadian seseorang, tapi lebih cenderung berdasarkan perilaku atau proses kepemimpinan yang ditunjukkan dalam organisasi yang dipimpin. Kualitas kepemimpinan tidak dinilai dari karakter personal, tapi lebih ditekankan pada fungsi, peranan, atau perilaku yang ditampilkan dalam kelompok. Salah satu teori kepemimpinan yang dikembangkan berdasarkan perilaku adalah teori kepemimpinan dua dimensi (two dimensional theory).
Berdasarkan teori kepemimpinan dua dimensi, gaya kepemimpinan itu mengacu pada dua sisi, yaitu sisi tugas atau hasil, dan sisi hubungan manusia atau proses. Gaya kepemimpinan yang berorientasi pada tugas (task oriented) adalah gaya kepemimpinan yang lebih menekankan pada tugas atau pencapaian hasil. Gaya kepemimpinan ini ditandai dengan penekanan pada penyusunan rencana kerja, penetapan pola, penetapan metode dan prosedur pencapaian tujuan. Sedangkan gaya kepemimpinan yang berorientasi pada hubungan manusia (people oriented) adalah gaya kepemimpinan yang meneknakan pada hubungan kemanusiaan dengan bawahan. Gaya kepemimpinan ini ditandai dengan penekanan pada hubungan kesejawatan, saling mempercayai, saling menghargai, dan kehangatan hubungan antar anggota (Owens, 1991).
Banyak ahli yang mengkaji teori kepemimpinan dua dimensi dengan istilah yang berbeda-beda. Cartwright dan Zander menggunakan istilah pencapaian tujuan (goal achievement), dan pertahanan kelompok (group maintenance). Halpin dan Winner mengemukakan dengan istilah struktur inisiasi (initiating structure) dan konsiderasi (consideration). Danil Cartz menyebut dengan istilah orientasi pada produksi (production oriented) dan orientasi pada pekerja (employee oriented). Likert menyebut dengan istilah berpusat pada tugas (job centered) dan berpusat pada pekerja (employee centered). Blake dan Mouton menggunakan istilah perhatian pada aspek hasil (concern for production) dan perhatian pada aspek manusia (concern for people) (Owens, 1991).
Semua istilah dimensi kepemimpinan tersebut, oleh Hoy dan Miskel (1987) diklasifikasi menjadi dua, yaitu perhatian pada organisasi (concern for organization) dan perhatian pada hubungan individual (concern for individual relationship).
Ada beberapa ciri perilaku yang menunjukkan gaya kepemimpinan yang berorientasi pada tugas dan hubungan manusia. David dan Sheasor mengemukakan empat ciri, yaitu memberikan dukungan, menjalin interaksi, merancang tugas-tugas dan menetapkan tujuan (Hoy dan Miskel, 1987). Dua komponen menunjukkan perilaku kepemimpinan yang berorientasi pada tugas, yaitu merancang tugas-tugas dan menetapkan tujuan. Dua komponen menunjukkan perilaku kepemimpinan yang berorientasi pada hubungan manusia, yaitu memberikan dukungan dan menjalin interaksi.
Di sisi lain, Halpin mengemukakan delapan komponen. Empat komponen menunjukkan perilaku kepemimpinan yang berorientasi pada tugas, yaitu menetapkan peranan, menetapkan prosedur kerja, melakukan komunikasi satu arah, dan mencapai tujuan organisasi. Empat komponen menunjukkan perilaku yang berorientasi pada hubungan manusia, yaitu menjalin hubungan akrab, menghargai anggota, bersikap hangat dan menaruh kepercayaan kepada anggota (Hoy dan Miskel, 1987).
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat digarisbawahi karakteristik perilaku gaya kepemimpinan yang berorientasi pada tugas adalah melakukan komunikasi satu arah, menyusun rencana kerja, merancang tugas-tugas, menetapkan prosedur kerja, dan menekankan pencapaian tujuan organisasi. Sedangkan karakteristik perilaku gaya kepemimpinan yang berorientasi pada hubungan manusia adalah menjalin hubungan yang akrap, menghargai anggota, bersikap hangat, dan menaruh kepercayaan kepada anggota.
Berdasarkan dua orientasi kepemimpinan tersebut, selanjutnya gaya kepemimpinan bisa diklasifikasi menjadi empat, yaitu: (1) task oriented leadership, yakni gaya kepemimpinan yang berorientasi tinggi pada tugas, dan rendah pada hubungan manusia, (2) relationship oriented leadership, yakni gaya kepemimpinan yang berorientasi tinggi pada hubungan manusia, tetapi rendah pada tugas, (3) integrated leadership, yakni gaya kepemimpinan yang beroirientasi tinggi pada tugas dan hubungan manusia, dan (4) impoverished leadership, yakni gaya kepemimpinan yang berorientasi rendah pada tugas dan hubungan manusia (Rossow, 1990). .
Pada perkembangan selanjutnya, diketahui bahwa tidak setiap organisasi bisa digunakan pendekatan kepemimpinan yang sama. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa orientasi kepemimpinan yang menekankan pada orang cenderung lebih efektif. Beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa orientasi kepemimpinan yang menekankan pada tugas justru lebih efektif (Feldmon & Arnold, 1983; Hoy & Miskel, 1987; Gorton, 1991). Hal ini disebabkan oleh karakteristik organisasi yang berbeda.
Berdasarkan landasan tersebut, lalu dikembangkan pendekatan kepemimpinan baru yang dikenal dengan pendekatan kepemimpinan situasional. Kepemimpinan yang efektif adalah kepemimpinan yang bisa menyesuaikan dengan kondisi dan situasi organisasi. Beberapa komponen yang perlu dipertimbangkan adalah keadaan bawahan, tuntutan pekerjaan, dan lingkungan organisasi itu sendiri (Newell, 1978).
Selanjutnya ada banyak teori kepemimpinan yang mempertimbangkan faktor situasi organisasi. Beberapa teori yang cukup dominan, antara lain sistem manajemen yang dikembangkan Likert, teori kepemimpinan tiga dimensi yang dikembangkan Reddin, teori kepemimpinan kontingensi yang dikembangkan Fiedler, teori kontingensi normatif yang dikembangkan oleh Vroom dan Yetton, teori substitutes yang dikembangkan oleh Kerr dan Jermier, teori path goal yang dikembangkan House, dan teori kepemimpinan situasional yang dikembangkan oleh Hersey dan Blanchard (Owens, 1981; Hoy & Miskel, 2005).
Berdasarkan teori kepemimpinan situasional, yang menekankan bahwa keberhasilan kepemimpinan ditentukan oleh perilaku pemimpin dan faktor-faktor situasional organisasi, seperti jenis pekerjaan, lingkungan organisasi, dan karakteristik individu yang terlibat dalam organisasi. Tidak ada satu gaya kepemimpinan yang paling efektif untuk semua organisasi. Kepemimpinan yang efektif adalah perilaku kepemimpinan yang sesuai dengan karakteristik organisasi, terutama kondisi kematangan bawahan.
Pada perkembangan selanjutnya, diketahui bahwa keberhasilan kepemimpinan tidak hanya ditekankan pada perilaku yang ditampilkan pimpinan dalam kelompok, tetapi perlu ditelaah dari sisi perilaku yang ditampilkan anggota dalam organisasi. Untuk itu, pimpinan harus bisa mentransformasi nilai kepada bawahan untuk mencapai tujuan organisasi. Salah satu pendekatan kepemimpinan yang dikembangkan adalah kepemimpinan transformasional.
Dalam mengelola sekolah, kepala sekolah dasar bisa memilih teori dan menerapkan gaya kepemimpinan yang tepat dari beberapa gaya kepemimpinan yang ada sesuai dengan karakter pribadi, dan kondisi organisasi sekolah yang dipimpin. Yang penting kepala sekolah dasar, harus bisa menampilkan peranan kepemimpinan yang baik. Berkaitan dengan peranan kepemimpinan kepala sekolah tersebut, Sergiovanni (1991) mengemukakan enam peranan kepemimpinan kepala sekolah, yaitu kepemimpinan formal, kepemimpinan administratif, kepemimpinan supervisi, kepemimpinan organisasi, dan kepemimpinan tim. Kepemimpinan formal mengacu pada tugas kepala sekolah untuk merumuskan visi, misi dan tujuan organisasi sesuai dengan dasar dan peraturan yang berlaku. Kepemimpinan administratif, mengacu pada tugas kepala sekolah untuk membina administrasi seluruh staf dan anggota organisasi sekolah. Kepemimpinan supervisi mengacu pada tugas kepala sekolah untuk membantu dan membimbing anggota agar bisa melaksanakan tugas dengan baik. Kepemimpinan organisasi mengacu pada tugas kepala sekolah untuk menciptakan iklim kerja yang kondusif, sehingga anggota bisa bekerja dengan penuh semangat dan produktif. Kepemimpinan tim mengacu pada tugas kepala sekolah untuk membangun kerja sama yang baik diantara semua anggota agar bisa mewujudkan tujuan organisasi sekolah secara optimal.

Gaya kepemimpinan sangat berpengaruh terhadap kedisiplinan kerja bagi guru atau karyawan sekolah, Menurut Fathoni (2006) kedisiplinan adalah kesadaran dan kesediaan seseorang menaati semua peraturan perusahaan dan norma-norma sosial yang berlaku. Kedisiplinan dapat diartikan bilamana karyawan selalu datang dan pulang tepat pada waktunya, mengerjakan semua pekerjaannya dengan baik, mematuhi semua peraturan perusahaan dan norma-norma sosial yang berlaku. Kedisiplinan harus ditegakkan dalam suatu organisasi perusahaan, karena tanpa dukungan disiplin karyawan yang baik maka sulit perusahaan untuk mewujudkan tujuannya.

Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa disiplin kerja pegawai merupakan sikap atau tingkah laku yang menunjukkan kesetiaan dan ketaatan seseorang atau sekelompok orang terhadap peraturan yang telah ditetapkan oleh instansi atau organisasinya baik yang tertulis maupun tidak

tertulis sehingga diharapkan pekerjaan yang dilakukan efektif dan efesien.

Ujar dari salah satu pekerja SMK, tidak akan tercapai dari sebuah kedisiplinan dan kedisiplinan tidak akan terwujud jika seorang pemimpin tidak tepat menerapkan gaya kepemimpinanya. Oleh karena itu peneliti tertarik mengambil judul “Hubungan Gaya Kepemimpinan terhadap Disiplin Kerja pada SMK XXX”.


B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan data maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut “Hubungan Gaya Kepemimpinan terhadap Disiplin Kerja pada SMK XXX.

C.      Tujuan Penelitian
1.    Tujuan Umum
Untuk mengetahui Hubungan Gaya Kepemimpinan terhadap Disiplin Kerja pada SMK XXX.
2.    Tujuan Khusus
a.       Untuk mengetahui Hubungan Gaya Kepemimpinan terhadap Disiplin Kerja pada SMK XXX
b.      Untuk mengetahui kualitas disiplin kerja bidan SMK XXX.
c.       Untuk mengetahui sejauhmana disiplin kerja bidan SMK XXX.

D.      Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui disiplin kerja di SMK XXX apakah ada Hubungan Gaya Kepemimpinan terhadap Disiplin Kerja pada SMK XXX, populasi seluruh pegawai SMK XXX dari bulan mei sampai bulan juli 2015. Teknik penelitian ini menggunakan metode kuantitatif deskriptif. Adapun yang melatarbelangi dilakukannya penelitian ini adalah hasil wawancara dengan siswa-siswi SMK XXX para pegawainya tingkat disiplin sangat tinggi dengan selalu tepatnya hadirdi sekolah.

E.       Kegunaan Penelitian

1.      Guna Teoritik

a.       Bagi institusi SMK
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada dan memotivasi untuk selalu menerapkan gaya kepemimpinannya yang baik.
b.      Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini di harapkan dapat menjadi sarana untuk menerapkan antara ilmu pengetahuan dan teori yang diperoleh di bangku kuliah.

2.      Manfaat Praktis

a.      Bagi SMK

Diharapkan dapat memberikan informasi bagi pemegang kebijakan Sekolah, terutama kepala sekolah tentang Hubungan Gaya Kepemimpinan terhadap Disiplin Kerja pada SMK XXX
b.         Bagi Institusi Pendidikan
Diharapkan dapat bermanfaat bagi institusi pendidikan sebagai bahan referensi untuk penelitian selanjutnya.


Comments

Popular posts from this blog

Konsep Cairan dan Elektrolit Tubuh

Makalah Konsep Dasar Teori Air Susu Ibu (ASI)