Upaya kolaboratif dalam meningkatkan kesehatan maternal dan perinatal

Image
  Upaya kolaboratif dalam meningkatkan kesehatan maternal dan perinatal Upaya kolaboratif dalam meningkatkan kesehatan maternal dan perinatal sangat penting untuk mencapai hasil yang optimal. Berikut ini adalah beberapa contoh upaya kolaboratif yang dapat dilakukan: 1.       Kolaborasi antara tenaga medis dan bidan: Tim medis yang terdiri dari dokter, perawat, dan bidan dapat bekerja sama untuk memberikan pelayanan kesehatan yang holistik kepada ibu hamil dan bayi yang akan lahir. Dengan saling berbagi pengetahuan dan keterampilan, mereka dapat meningkatkan pemantauan kehamilan, memberikan perawatan prenatal yang tepat, dan menangani komplikasi saat melahirkan. 2.       Kemitraan antara lembaga kesehatan dan masyarakat: Kolaborasi antara fasilitas kesehatan, organisasi non-pemerintah, dan masyarakat lokal dapat membantu meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesehatan maternal dan perinatal. Misalnya, mengadakan kampanye penyuluhan dan program edukasi di komunitas mengenai perawa

Konsep Dasar Pernikahan / Perkawinan


Konsep Dasar Pernikahan / Perkawinan

A.      Pengertian
Menurut Undang-Undang Pokok Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1 dijelaskan perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang berbahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 

Oleh karena itu perkawinan merupakan suatu yang alami yang sudah menjadi kodrat alam, bahwa dua jenis kelamin yang berbeda akan mempunyai daya tarik antara satu dengan yang lainnya untuk hidup bersama. Kawin adalah status dari mereka yang terikat dalam perkawinan pada saat pencacahan, baik tinggal bersama maupun terpisah. Dalam hal ini tidak saja mereka yang kawin sah secara hukum (adat, agama, negara, dan sebagainya) tetapi mereka yang hidup bersama dan oleh masyarakat sekelilingnya dianggap sah sebagai suami istri (5)
Sigelman (2003) mendefinisikan perkawinan sebagai sebuah hubungan antara dua orang yang berbeda jenis kelamin dan dikenal dengan suami istri. Dalam hubungan tersebut terdapat peran serta tanggung jawab dari suami dan istri yang di dalamnya terdapat unsur keintiman, pertemanan, persahabatan, kasih sayang, pemenuhan seksual, dan menjadi orang tua. Menurut Dariyo (2005), perkawinan merupakan ikatan kudus antara pasangan dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang telah menginjak atau dianggap telah memiliki umur cukup dewasa. Pernikahan dianggap sebagai ikatan kudus (holly relationship) karena hubungan pasangan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan telah diakui secara sah dalam hukum agama. Ahmad (2007) dan Heriyanti (2002) mendefinisikan perkawinan adalah sebagai ikatan antara laki-laki dan perempuan atas dasar persetujuan kedua belah pihak yang mencakup hubungan dengan masyarakat di lingkungan dimana terdapat norma-norma yang mengikat untuk menghalalkan hubungan antara kedua belah pihak.
Menurut (6), perkawinan adalah suatu pola sosial yang disetujui dengan cara mana dua orang atau lebih membentuk keluarga. Atau dengan kata lain perkawinan adalah penerimaan status baru, serta pengakuan atas status baru oleh orang lain

B.       Tujuan perkawinan
Menurut (6), suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya mencapai kesejahteraan spiritual dan material. Lebih lanjut Walgito (7) tujuan perkawinan adalah mengembangkan kepribadian untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan material. Menurut Sahli (1994), tujuan perkawinan sesungguhnya sangat mulia apabila dilandaskan kesadaran untuk saling memberi yang terbaik walaupun pasangannya tidak menuntut hal tersebut.
Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Wantjik (1976) tujuan melangsungkan perkawinan adalah untuk menciptakan hidup rumah tangga yang sejahtera bersama pasangan yang menjadi pilihan dan untuk meneruskan keturunan pada umumnya dalam membina keluarga, setiap orang menginginkan kehidupan yang bahagia bersama pasangannya sampai akhir waktu. Menurut Kusnadi (2005) tujuan bersama dalam perkawinan adalah komposisi dari setiap tujuan personal pasangan yang mungkin dengan cara kooperatif akan menyertakan kedua keinginan pasangan tersebut, apabila kedua keinginan tersebut terkandung dalam satu tujuan bersama sebagai hasil akhir.(8)
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk menciptakan hidup rumah tangga yang sejahtera bersama pasangan yang menjadi pilihan dan untuk meneruskan keturunan pada umumnya dalam membina keluarga yang bahagia bersama pasangannya sampai akhir waktu.

C.      Tahap-tahap kehidupan perkawinan
Tahap-tahap dalam perkawinan perlu diketahui agar mengerti tentang konsep perjalanan hidup pasangan serta masa-masa krisis yang dialaminya. Menurut Walgito, terdapat tiga periode dalam perkawinan yaitu : a. Tahun awal (early years). Masa ini mencakup kurang lebih 10 tahun pertama perkawinan. Masa ini merupakan masa perkenalan dan masa penyesuaian diri bagi kedua belah pihak, pasangan suami istri berusaha untuk saling mengenal, menyelesaikan sekolah atau memulai karier, merencanakan kehadiran anak pertama serta mengatur peran masing-masing dalam menjalani hubungan suami istri tahun-tahun pertama biasanya sangat sulit untuk dilalui karena pasangan muda ini tidak dapat mengantisipasi ketegangan atau tekanan yang mungkin timbul. Angka perceraian tertinggi terjadi antara tahun kedua sampai tahun keempat pekawinan. (7)
Suami istri harus saling belajar satu sama lain untuk saling mengenal, sebab pada masa ini biasanya terjadi suatu krisis yang disebabkan karena masing-masing kurang memainkan peranan baru baik suami istri ataupun sebagai orangtua; b. Tahun pertengahan (midlle years). Periode ini berlangsung antara tahun kesepuluh sampai dengan tahun ketigapuluh dari masa perkawinan.
Masa yang terjadi pada tahap ini adalah “child full phase” yang kemudian diikuti oleh “us aging phase”. Pada “child full phase” orangtua mengkonsentrasikan pada pengembangan dan pemeliharaan keluarga, selain itu suami istri harus mampu menyelesaikan konflik-konflik sosial yang timbul dalam perkawinan, sehingga tidak terjadi ketegangan dalam keluarga. Pada “us aging phase” pasangan suami istri menemukan dan membangun kembali hubungan antara kedua belah pihak. Pasangan suami istri kembali menyusun prioritas baru dan menikmati hubungan intim yang telah diperbaharui, tanpa ada anak-anak dalam rumah. Bagi suami istri yang tidak memiliki anak, maka fase ini dapat digunakan untuk memusatkan perhatian pada karier ataupun aktivitas-aktivitas produktif lainnya.
Pasangan suami istri merupakan titik penting, yang berarti bahwa suami istri serasa berada dalam sarang kosong karena anak-anaknya telah pergi atau menikah; c. Tahun matang (mature years). Masa ini dimulai pada tahun ketiga puluh dalam perkawinan. Pasangan suami istri berada dalam peran yang baru, misalnya bertindak sebagai kakek atau nenek, menikmati hari tua bersama-sama atau hidup sendiri lagi karena salah satu pasangan telah meninggal lebih dulu. Masa ini merupakan masa pensiun atau pengunduran diri dari kegiatan-kegiatan di dalam dunia kerja.
Menurut Hurlock (2004) membagi periode pernikahan menjadi tiga, yaitu : a. Tahun-tahun awal sebagai periode dewasa dini. Pada periode ini terdapat kesulitan penyesuaian pernikahan yang dialami oleh pasangan suami istri di awal-awal pernikahan. Penyesuaian diri ini biasanya sering timbul ketegangan emosi yang memicu adanya pertikaian atau konflik dalam rumah tangga, yang muncul dari pihak suami maupun istri. Tahun awal perkawinan adalah periode penyesuaian yang banyak memerlukan adanya sikap kedewasaan dari kedua belah pihak, biasanya pasangan mempunyai sikap ego yang tinggi, saling mempertahankan keinginannya, merasa lebih pengalaman, merasa lebih pandai dan sebagainya; b. Tahun-tahun pertengahan sebagai periode usia madya. Periode pernikahan ini anak-anak mulai meninggalkan rumah untuk studi di perguruan tinggi, menikah atau mencari pekerjaan. Orangtua harus menghadapi masalah penyesuaian kehidupan yang biasa disebut periode sarang kosong atau empty nest. Pada saat periode ini terjadi, berarti bahwa pada saat itu kedua orangtua tersebut harus melakukan perubahan peran dan keluarga tersebut perlu mencari kegiatan di luar rumah; c. Tahun-tahun kematangan sebagai periode usia lanjut. Periode ini penyesuaian terhadap pembangunan hubungan yang baik pada pasangan penting untuk dilakukan. Perubahannya peran dari pekerja ke pensiunan kebanyakan pria menghabiskan sebagian besar waktunya untuk tinggal di rumah daripada yang dilakukan sebelum pensiun. Hubungan yang baik dengan pasangan akan mendatangkan kebahagiaan, sebaliknya jika hubungan yang kaku dan dingin maka percekcokan akan meningkat.
Berdasarkan pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa periode pernikahan ada tiga bagian yaitu :
1)      Usia pernikahan 10 tahun pertama merupakan tahun-tahun periode awal pernikahan. Pada periode ini, masa krisis yang dialami suami istri adalah penyesuaian dengan pasangan dalam hal penyesuaian masalah-masalah yang muncul dalam pernikahan dan apabila tidak berhasil akan menimbulkan konflik; 
2)      Usia pernikahan antara 10-30 tahun merupakan periode menengah dalam suatu pernikahan. Pada periode ini, suami istri akan mengalami child full phase yaitu fase untuk mengkonsentrasikan diri pada pengembangan dan pemeliharaan keluarga serta memikirkan tujuan yang baru untuk masa yang akan datang. Pada fase ini suami istri juga mengalami use again phase yaitu fase suami istri mulai menyusun kembali prioritas baru dan belajar menikmati hubungan intim yang telah diperbaharui tanpa kehadiran anak atau empty nest;
3)      Usia pernikahan 30 tahun ke atas merupakan tahun-tahun kematangan pada fase ini suami istri mempunyai peran baru yaitu sebagai kakek nenek, pensiun dan banyak menghabiskan waktu di rumah.

D.      Batasan usia perkawinan

Dalam hubungan dengan hukum menurut UU, usia minimal untuk suatu perkawinan adalah 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria (Pasal 7 UU No. 1/2012 tentang perkawinan). Jelas bahwa UU tersebut menganggap orang di atas usia tersebut bukan lagi anak-anak sehigga mereka sudah boleh menikah, batasan usia ini dimaksud untuk mencegah perkawinan terlalu dini. Walaupun begitu selama seseorang belum mencapai usia 21 tahun masih diperlukan izin orang tua untuk menikahkan anaknya. Setelah berusia di atas 21 tahun boleh menikah tanpa izin orang tua (Pasal 6 ayat 2 UU No. 1/1974). Tampaklah di sini, bahwa walaupun UU tidak menganggap mereka yang di atas usia 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria bukan anak-anak lagi, tetapi belum dianggap dewasa penuh. Sehingga masih perlu izin untuk mengawinkan mereka. Ditinjau dari segi kesehatan reproduksi, usia 16 tahun bagi wanita, berarti yang bersangkutan belum berada dalam usia reproduksi yang sehat. Meskipun batas usia kawin telah ditetapkan UU, namun pelanggaran masih banyak terjadi dimasyarakat terutama dengan menaikkan usia agar dapat memenuhi batas usia minimal tersebut (8)

Comments

Popular posts from this blog

Konsep Cairan dan Elektrolit Tubuh

Makalah Konsep Dasar Teori Air Susu Ibu (ASI)