Konsep Dasar Pernikahan / Perkawinan
A.
Pengertian
Menurut Undang-Undang
Pokok Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1 dijelaskan perkawinan adalah ikatan
lahir dan batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang berbahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Oleh karena itu perkawinan merupakan suatu
yang alami yang sudah menjadi kodrat alam, bahwa dua jenis kelamin yang berbeda
akan mempunyai daya tarik antara satu dengan yang lainnya untuk hidup bersama.
Kawin adalah status dari mereka yang terikat dalam perkawinan pada saat
pencacahan, baik tinggal bersama maupun terpisah. Dalam hal ini tidak saja
mereka yang kawin sah secara hukum (adat, agama, negara, dan sebagainya) tetapi
mereka yang hidup bersama dan oleh masyarakat sekelilingnya dianggap sah
sebagai suami istri (5)
Sigelman (2003)
mendefinisikan perkawinan sebagai sebuah hubungan antara dua orang yang berbeda
jenis kelamin dan dikenal dengan suami istri. Dalam hubungan tersebut terdapat
peran serta tanggung jawab dari suami dan istri yang di dalamnya terdapat unsur
keintiman, pertemanan, persahabatan, kasih sayang, pemenuhan seksual, dan
menjadi orang tua. Menurut Dariyo (2005),
perkawinan merupakan ikatan kudus antara pasangan dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan yang telah menginjak atau dianggap telah memiliki umur cukup
dewasa. Pernikahan dianggap sebagai ikatan kudus (holly relationship) karena
hubungan pasangan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan telah diakui
secara sah dalam hukum agama. Ahmad (2007) dan Heriyanti (2002) mendefinisikan
perkawinan adalah sebagai ikatan antara laki-laki dan perempuan atas dasar
persetujuan kedua belah pihak yang mencakup hubungan dengan masyarakat di lingkungan
dimana terdapat norma-norma yang mengikat untuk menghalalkan hubungan antara
kedua belah pihak.
Menurut (6), perkawinan adalah suatu pola sosial yang disetujui
dengan cara mana dua orang atau lebih membentuk keluarga. Atau dengan kata lain
perkawinan adalah penerimaan status baru, serta pengakuan atas status baru oleh
orang lain
B. Tujuan
perkawinan
Menurut (6), suami istri perlu saling membantu dan melengkapi
agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya mencapai kesejahteraan
spiritual dan material. Lebih lanjut Walgito (7)
tujuan perkawinan adalah mengembangkan kepribadian untuk mencapai kesejahteraan
spiritual dan material. Menurut Sahli (1994), tujuan perkawinan sesungguhnya
sangat mulia apabila dilandaskan kesadaran untuk saling memberi yang terbaik
walaupun pasangannya tidak menuntut hal tersebut.
Pendapat yang berbeda
dikemukakan oleh Wantjik (1976) tujuan melangsungkan perkawinan adalah untuk
menciptakan hidup rumah tangga yang sejahtera bersama pasangan yang menjadi
pilihan dan untuk meneruskan keturunan pada umumnya dalam membina keluarga,
setiap orang menginginkan kehidupan yang bahagia bersama pasangannya sampai
akhir waktu. Menurut Kusnadi (2005) tujuan bersama dalam perkawinan adalah
komposisi dari setiap tujuan personal pasangan yang mungkin dengan cara
kooperatif akan menyertakan kedua keinginan pasangan tersebut, apabila kedua
keinginan tersebut terkandung dalam satu tujuan bersama sebagai hasil akhir.(8)
Berdasarkan uraian di
atas dapat disimpulkan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk menciptakan hidup
rumah tangga yang sejahtera bersama pasangan yang menjadi pilihan dan untuk
meneruskan keturunan pada umumnya dalam membina keluarga yang bahagia bersama
pasangannya sampai akhir waktu.
C. Tahap-tahap
kehidupan perkawinan
Tahap-tahap dalam
perkawinan perlu diketahui agar mengerti tentang konsep perjalanan hidup
pasangan serta masa-masa krisis yang dialaminya. Menurut Walgito, terdapat tiga periode dalam perkawinan yaitu : a.
Tahun awal (early years). Masa ini mencakup kurang lebih 10 tahun
pertama perkawinan. Masa ini merupakan masa perkenalan dan masa penyesuaian
diri bagi kedua belah pihak, pasangan suami istri berusaha untuk saling
mengenal, menyelesaikan sekolah atau memulai karier, merencanakan kehadiran
anak pertama serta mengatur peran masing-masing dalam menjalani hubungan suami
istri tahun-tahun pertama biasanya sangat sulit untuk dilalui karena pasangan
muda ini tidak dapat mengantisipasi ketegangan atau tekanan yang mungkin
timbul. Angka perceraian tertinggi terjadi antara tahun kedua sampai tahun
keempat pekawinan. (7)
Suami istri harus
saling belajar satu sama lain untuk saling mengenal, sebab pada masa ini
biasanya terjadi suatu krisis yang disebabkan karena masing-masing kurang
memainkan peranan baru baik suami istri ataupun sebagai orangtua; b. Tahun
pertengahan (midlle years). Periode ini berlangsung antara tahun
kesepuluh sampai dengan tahun ketigapuluh dari masa perkawinan.
Masa yang terjadi pada
tahap ini adalah “child full phase” yang kemudian diikuti oleh “us
aging phase”. Pada “child full phase” orangtua mengkonsentrasikan
pada pengembangan dan pemeliharaan keluarga, selain itu suami istri harus mampu
menyelesaikan konflik-konflik sosial yang timbul dalam perkawinan, sehingga
tidak terjadi ketegangan dalam keluarga. Pada “us aging phase” pasangan
suami istri menemukan dan membangun kembali hubungan antara kedua belah pihak.
Pasangan suami istri kembali menyusun prioritas baru dan menikmati hubungan
intim yang telah diperbaharui, tanpa ada anak-anak dalam rumah. Bagi suami
istri yang tidak memiliki anak, maka fase ini dapat digunakan untuk memusatkan
perhatian pada karier ataupun aktivitas-aktivitas produktif lainnya.
Pasangan suami istri
merupakan titik penting, yang berarti bahwa suami istri serasa berada dalam
sarang kosong karena anak-anaknya telah pergi atau menikah; c. Tahun matang (mature
years). Masa ini dimulai pada tahun ketiga puluh dalam perkawinan. Pasangan
suami istri berada dalam peran yang baru, misalnya bertindak sebagai kakek atau
nenek, menikmati hari tua bersama-sama atau hidup sendiri lagi karena salah
satu pasangan telah meninggal lebih dulu. Masa ini merupakan masa pensiun atau
pengunduran diri dari kegiatan-kegiatan di dalam dunia kerja.
Menurut Hurlock (2004)
membagi periode pernikahan menjadi tiga, yaitu : a. Tahun-tahun awal sebagai
periode dewasa dini. Pada periode ini terdapat kesulitan penyesuaian pernikahan
yang dialami oleh pasangan suami istri di awal-awal pernikahan. Penyesuaian
diri ini biasanya sering timbul ketegangan emosi yang memicu adanya pertikaian
atau konflik dalam rumah tangga, yang muncul dari pihak suami maupun istri.
Tahun awal perkawinan adalah periode penyesuaian yang banyak memerlukan adanya
sikap kedewasaan dari kedua belah pihak, biasanya pasangan mempunyai sikap ego
yang tinggi, saling mempertahankan keinginannya, merasa lebih pengalaman,
merasa lebih pandai dan sebagainya; b. Tahun-tahun pertengahan sebagai periode
usia madya. Periode pernikahan ini anak-anak mulai meninggalkan rumah untuk
studi di perguruan tinggi, menikah atau mencari pekerjaan. Orangtua harus
menghadapi masalah penyesuaian kehidupan yang biasa disebut periode sarang
kosong atau empty nest. Pada saat periode ini terjadi, berarti bahwa
pada saat itu kedua orangtua tersebut harus melakukan perubahan peran dan
keluarga tersebut perlu mencari kegiatan di luar rumah; c. Tahun-tahun
kematangan sebagai periode usia lanjut. Periode ini penyesuaian terhadap
pembangunan hubungan yang baik pada pasangan penting untuk dilakukan.
Perubahannya peran dari pekerja ke pensiunan kebanyakan pria menghabiskan
sebagian besar waktunya untuk tinggal di rumah daripada yang dilakukan sebelum
pensiun. Hubungan yang baik dengan pasangan akan mendatangkan kebahagiaan,
sebaliknya jika hubungan yang kaku dan dingin maka percekcokan akan meningkat.
Berdasarkan pendapat
ahli di atas dapat disimpulkan bahwa periode pernikahan ada tiga bagian yaitu :
1)
Usia
pernikahan 10 tahun pertama merupakan tahun-tahun periode awal pernikahan. Pada
periode ini, masa krisis yang dialami suami istri adalah penyesuaian dengan
pasangan dalam hal penyesuaian masalah-masalah yang muncul dalam pernikahan dan
apabila tidak berhasil akan menimbulkan konflik;
2)
Usia
pernikahan antara 10-30 tahun merupakan periode menengah dalam suatu
pernikahan. Pada periode ini, suami istri akan mengalami child full phase
yaitu fase untuk mengkonsentrasikan diri pada pengembangan dan pemeliharaan
keluarga serta memikirkan tujuan yang baru untuk masa yang akan datang. Pada
fase ini suami istri juga mengalami use again phase yaitu fase suami
istri mulai menyusun kembali prioritas baru dan belajar menikmati hubungan
intim yang telah diperbaharui tanpa kehadiran anak atau empty nest;
3)
Usia
pernikahan 30 tahun ke atas merupakan tahun-tahun kematangan pada fase ini
suami istri mempunyai peran baru yaitu sebagai kakek nenek, pensiun dan banyak
menghabiskan waktu di rumah.
D. Batasan
usia perkawinan
Dalam hubungan dengan
hukum menurut UU, usia minimal untuk suatu perkawinan adalah 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria (Pasal 7
UU No. 1/2012 tentang perkawinan). Jelas bahwa UU tersebut
menganggap orang di atas usia tersebut bukan lagi anak-anak sehigga mereka
sudah boleh menikah, batasan usia ini dimaksud untuk mencegah perkawinan
terlalu dini. Walaupun begitu selama seseorang belum mencapai usia 21 tahun
masih diperlukan izin orang tua untuk menikahkan anaknya.
Setelah berusia di atas 21 tahun boleh menikah tanpa izin orang tua (Pasal 6
ayat 2 UU No. 1/1974). Tampaklah di sini, bahwa walaupun UU tidak menganggap
mereka yang di atas usia 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria bukan
anak-anak lagi, tetapi belum dianggap dewasa penuh. Sehingga masih perlu izin
untuk mengawinkan mereka. Ditinjau dari segi kesehatan reproduksi, usia 16 tahun bagi wanita, berarti yang bersangkutan belum
berada dalam usia reproduksi yang sehat. Meskipun batas usia kawin telah
ditetapkan UU, namun pelanggaran masih banyak terjadi dimasyarakat terutama
dengan menaikkan usia agar dapat memenuhi batas usia minimal tersebut (8).
Comments
Post a Comment