Makalah Skizofrenia dan Skizofrenia Residual
1.
Pengertian
Skizofrenia dan Skizofrenia Residual
a.
Skizofrenia
Skizofrenia adalah gangguan jiwa yang penderitanya tidak
mampu memiliki realitas (Reality Testing
Ability/RTA) dengan baik dan pemahaman diri (Self Insight) buruk (Hawari, 2007).
Skizofrenia adalah suatu penyakit otak persisten dan
serius yang mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret dan kesulitan dalam
memproses informasi, hubungngan interpersonal serta memecahkan
masalah (Stuart & Sundeen, 2007).
Skizofrenia adalah sekelompok reaksi psikotik yang
mempengaruhi berbagai area fungsi individu, termasuk berfikir dan
berkomunikasi, menerima dan menginterprestasikan realitas, merasakan dan
menunjukan emosi dan berprilaku dengan sikap yang dapat diterima secara sosial
(Keliat, 2006).
Dari beberapa pengertian diatas penulis menyimpulkan
bahwa skizofrenia adalah gangguan psikotik yang mempengaruhi fungsi berfikir,
berkomunikasi, menilai realitas dan persepsi seseorang.
b.
Skizofrenia Residual
Skizofrenia Residual merupakan keadaan schizofenia yang ciri-ciri utamanya
adalah tidak ada gejala akut saat ini melainkan terjadi dimasa lalu dan dapat
terjadi gejala-gejala negatif seperti isolasi sosial yang nyata, menarik diri
dan gangguan fungsi peran (Nursalam, 2008).
Skizofrenia Residual adalah keadaan Schizophrenia dengan gejala-gejala
gangguan proses pikir, kemauan emosianal tetapi tidak jelas adanya gejala-gejala skunder, keadaan
ini timbul sesudah beberap kali (Nursalam, 2008).
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa skizofrenia
residual adalah stadium kronik ditandai dengan gejala-gejala negatif seperti
isolasi sosial, menarik diri, dan gangguan fungsi peran. Sikap apatis, respon
emosional yang menumpul atau tidak wajar biasanya yang mengakibatkan penarikan
diri dari pergaulan sosial.
2.
Jenis-Jenis Skizofrenia
a.
Skizofrenia Residual
Tipe ini merupakan sisa-sisa (residu) dari gejala skizofrenia yang tidak begitu menonjol.
Misalnya alam perasaan yang tumpul dan mendatar serta tidak serasi (inappropriate), penarikan diri dari
pergaulan sosial, tingkah laku yang eksentrik, pikiran tidak logis dan tidak
rasional atau pelonggaran asosiasi pikiran (Hawari, 2007)
b.
Skizofrenia Katatonik
Ciri utamanya ditandai dengan gangguan psikomotor yang
melibatkan imobilisasi atau justru aktivitas yang berlebihan gejala yang timbul
diantaranya adalah stupor katatonik, mematung atau diam membisu, negativisme,
perlawanan tanpa motif terhadap semua perintah, katatonik excitement,
melibatkan agitasi yang ekstrim (Damaiyanti, 2012).
c.
Skizofrenia Hebefrenik
Skizofrenia hebefrenik adalah
skizofrenia dengan ciri utamanya adalah percakapan dan perilaku yang kacau,
serta afek yang datar/tidak tepat, gangguan asosiasi, mempunyai sikap yang
aneh, menunjukkan perilaku menarik diri secara sosial yang ekstrim, mengabaikan
higiene dan penampilan diri. Awitan biasanya terjadi sebelum usia 25 tahun dan
dapat bersifat kronis. Perilaku regresif dengan interaksi sosial dan kontak
dengan realitas yang buruk (Damaiyanti, 2012).
d.
Skizofrenia Paranoid
Skizofrenia paranoid adalah skizofrenia yang ciri
utamanya adalah waham yang sistematis atau halusinasi pendengaran, Individu
dapat penuh curiga, argumentative, kasar dan negatif, Perilaku kurang agresif,
kerusakan sosial lebih sedikit dan prognosisnya lebih baik dibanding
jenis-jenis yang lain (Damaiyanti, 2012)
3.
Etiologi Skizofrenia
Penyebab pasti dari skizofrenia masih belum jelas.
Konsensus umum saat ini adalah bahwa gangguan ini disebabkan oleh interaksi
yang kompleks antara berbagai faktor. Faktor yang telah dipelajari dan
diimplementasikan meliputi:
a.
Predisposisi genetika
Meskipun genetika merupakan faktor resiko yang
signifikan, belum ada penanda genetika tunggal yang diidentifikasi, kemungkinan
melibatkan berbagai gen penelitian telah berfokus pada kromosom 6, 13, 18 dan
22. resiko terjangkit skizofrenia bila gangguan ini berada dalam keluarga
adalah sebagi berikut :
1)
Satu orang tua terkena risiko 12% sampai 15%.
2)
Kedua orang tua terkena penyakit ini risiko 35% sampai
39%.
3)
Saudara sekandung yang terkena risiko 8% sampai 10%.
4)
Kembar dizigotik yang terkena risiko 15%.
5)
Kembar monozigotik yang terkena risiko 50%.
b.
Abnormalitas perkembangan saraf
Penelitian menunjukan bahwa malformasi janin minor yang terjadi
pada awal gestasi berperan dalam manifestasi akhir dari skizofrenia.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan saraf dengan diidentifikasi
sebagai risiko yang terus bertambah meliputi:
1)
Individu yang ibunya terserang influenza pada trimester
kedua.
2)
Individu yang mengalami trauma atau cedera pada waktu
dilahirkan.
3)
Penganiayaan atau trauma dimasa bayi atau masa
kanak-kanak awal.
c.
Abnormalitas struktur otak
Pada beberapa sub kelompok penderita skizofrenia, teknik
pencitraan otak (CT, MRI dan PET) telah menunjukan adanya abnormalitas pada
struktur otak meliputi:
1)
Pembesaran ventrikel.
2)
Penurunan aliran darah kortikal, terutama dikorteks
prefrontal.
3)
Penurunan aktifitas metabolik dibagian-bagian otak
tertentu.
4)
Atrofi serebri.
d.
Ketidakseimbangan neurokimia (neurotransmiter)
Dulu penelitian berfokus pada hipotesis dopamin, yang
menyatakan bahwa aktivitas dopamin yang erlebihan dibagian kortikal otak,
berkaitan dengan gejala positif dari skizofrenia, pentingnya neurotransmiter
lain termasuk serotin, norepinefrin, glutamat. Obat psikotropik dapat
mempengaruhi tempat reseptor neurotransmiter dan juga neurotransmiter itu
sendiri.
e.
Proses psikososial dan lingkungan
1)
Teori perkembangan
Ahli teori seperti Freud, Sullifan dan Erikson
mengemukakan bahwa kurangnya perhatian yang hangat dan penuh kasih sayang di
tahun-tahun awal kehidupan berperan dalam menyebabkan kurangnya identitas diri,
salah interprestasi terhadap realitas dan menarik diri dari hubungan pada
penderita skizofrenia.
2)
Teori keluarga
Teori yang berkaitan dengan peran keluarga dalam
munculnya skizofrenia di validasi dengan penelitian. Bagian fungsi keluarga
yang telah diimplikasikan dalam peningkatan angka kekambuhan individu yang
skizofrenia adalah sangat mengekspresikan
emosi (high expressed emotion (HEE)). Keluarga dengan ciri ini
dianggap terlalu ikut campur secara emosional, kasar dan krisis.
3)
Status sosial ekonomi
Hasil penelitian yang konsisten adalah hubungan yang kuat
antara skizofrenia dan status sosial ekonomi yang rendah.
4)
Model kerentanan stres
Model interaksional yang menyatakan bahwa penderita
skizofrenia mempunyai kerentanga genetik dan biologik terhadap skizofrenia.
Kerentanan ini, bila disertai dengan pejanan stresor kehidupan, dapat
menimbulkan gejala-gejala pada individu tersebut.
(Nursalam, 2009).
4.
Tanda dan Gejala Skizofrenia
Adapun gejala positif skizofrenia adalah sebagai berikut
:
a.
Delusi atau waham,
yaitu suatu keyakinan yang tidak rasional (tidak masuk akal) meskipun telah
dibuktikan secara obhjektif bahwa keyakinannya itu tidak rasional, namun
penderita tetap meyakini kebenarannya.
b.
Halusinasi, yaitu
pengalaman panca indera tanpa adanya rangsangan (stimulus) mendengar
suara-suara atau bisikan-bisikan di telinga padahal tidak ada sumber dari
bisikan itu.
c.
Kekacauan alam fikir
yang dapat dilihat dari isi pembicaraan, misalnya bicara kacau sehingga tidak
dapat diikuti alur fikirnya.
d.
Gaduh, gelisah, tidak
dapat diam, mondar mandir, agresif, bicara dengan semangat, dan gembira
berlebihan.
e.
Merasa dirinya orang besar, merasa serba mampu dan serba
hebat.
f.
Fikiran yang penuh dengan kecurigaan atau seakan-akan ada
ancaman terhadap dirinya.
g.
Menyimpan rasa permusuhan.
Gejala-gejala negatif yang diperlihatkan pada skizofrenia
adalah :
a.
Alam perasaan (afek) tumpul dan datar ini dapat terlihat
dari wajah yang tidak menunjukkan ekspresi.
b.
Menarik diri atau mengasingkan, tidak mau bergaul atau
kontak dengan orang lain, suka melamun.
c.
Kontak emosional amat miskin, sukar diajak bicara,
pendiam.
d.
Pasif dan apatis, menarik diri dari pergaulan sosial.
e.
Sulit dalam berfikit abstrak.
f.
Pola fikir stereotif.
g.
Tidak ada atau kehilangan dorongan kehendak dan tidak ada
inisiatif, tidak ada upaya dan usaha, tidak ada spontanitas, monoton serta
tidak ingin apa-apa, dan serba malas atau kehilangan
nafsu, (Hawari, 2007).
5.
Mekanisme Terjadinya Skizofrenia
Untuk mengetahui dan memahami perjalanan penyakit
skizofrenia diperlukan pendekatan yang bersifat holistik, yaitu dari sudut
organobiologik, psikodinamik, psikoreligius dan psikososial.
a.
Organobiologik
Pada penderita skizofrenia ditemukan perubahan-perubahan
atau gangguan pada sistem transmisi sinyal penghantar safat (Neurotransmiter)
dan reseptor di sel-sel saraf otak (Neuron) dan interaksi zat neurokimia
seperti dopamin dan serotonin yang ternyata mempengaruhi fungsi kognitif (alam
pikir), afektif (alam perasaan) dan psikomotor (perilaku) yang tampak dalam
bentuk gejala-gejala skizofrenia.
Selain perubahan-perubahan yang sifatnya neurokimiawi,
ternyata ditemukan juga perubahan pada anatomi otak penderita skizofrenia
terutama pada penderita yang kronis. Perubahan-perubahan anatomi otak tersebut
antara lain pelebaran lateral ventrikel, atrofi korteks bagian depan dan atrofi
otak kecil (Hawari, 2007).
b.
Psikodinamik
Mengapa seseorang jatuh sakit
(menderita skizofrenia) sementara orang lain tidak ? Secara umum dan sederhana
kejadian tersebut dapat diterangkan dengan menggunakan rumus :
I :
Individu, yaitu seseorang yang sudah mempunyai bakat-bakat tertentu,
kepribadian yang rentan (Vulnerable personality) atau pun faktor
genetik, yang kesemuanya itu merupakan faktor predisposisi yaitu kecenderungan
untuk menjadi sakit.
S :
Situasi, yaitu suatu kondisi yang menjadi tekanan mental bagi individu yang
bersangkutan misalnya stresor psikososial.
R :
Reaksi, yaitu respons dari individu yang bersangkutan setelah mengalami situasi
yang tidak mengenakan (tekanan mental) sehingga ia mengalami frustasi yang pada
gilirannya menjadi jatuh sakit.
Mekanisme terjadinya skizofrenia pada diri seseorang
dari sudut psikoinamik dapat diterangkan dengan dua buah teori yaitu teori
homeostatik-deskriptif (descriptive-homeostatic) dan fasilitatif-etiologik
(etiological-facilitative).
Pada teori homeostatik-deskriptif diuraikan gambaran
gejala-gejala (deskripsi) dari suatu gangguan jiwa yang menjelaskan terjadinya
homeostatik pada diri seseorang, sebelum dan sesudah terjadinya ganguan jiwa.
Sedangkan pada teori fasilitatif-etiologik, diuraikan faktor-faktor yang
memudahkan (fasilitasi) penyebab (etiologi) dari suatu penyakit, bagaimanan
perjalanan penyakitnya dan penjelasan mekanisme psikologis dari penyakit yang
bersangkutan (Hawari, 2007).
c.
Psikoreligius
Manusia adalah makhluk fitrah, sejak manusia lahir sudah
dibekali dengan dorongan-dorongan atau nafsu. Tanpa adanya dorongan nafsu, maka
manusia tidak akan dapat mempertahankan diri keberadaannya. Fitrah ke-Tuhan-an
ini dalam istilah Freud disebut sebagai Super-Ego, dalam agama Islam
dapat dianalogikan dengan Iman yang berfungsi sebagai pengendalian diri (Self
Control).
Manusia melaksanakan kebutuhan-kebutuhan atau
dorongan-dorongan dalam bentuk perbuatan, perilaku atau amal yang kesemuanya
itu disebut sebagai akhlak. Dalam
konsep Freud akhlak ini disebut Ego. Akhlak seseorang akan menjadi baik atau
buruk tergantung dari hasil tarik menarik antara Nafsu dan Iman atau dengan
kata lain antara Id dan Super-Ego. Hasil tarik menarik antara nafsu dan iman
pada sebagian orang dapat menimbulkan konflik bathin dan apabila konflik ini
tidak terselesaikan maka yang bersangkutan dapat jatuh sakit (Hawari, 2007)
d.
Psikososial
Situasi dan kondisi yang tidak kondusif dapat merupakan
stresor psikososial, yang mana jika seseorang tidak mampu beradaftasi atau
menganggulanginya akan timbullah keluhan-keluhan kejiwaan. Secara umum stressor
psikososial dapat digolongkan sebagai berikut :
1)
Perkawinan
Berbagai permasalahan perkawinan merupakan sumber stres yang di alami
seseorang, misalnya pertengakaran, perpisahan, perceraian, kematian salah satu
pasangan, ketidaksetiaan dan lain-lain.
2)
Problem Orang Tua
Permasalahan yang dihadapi orang tua, misalnya tidak punya anak,
kebanyakan anak, kenakalan anak, anak sakit dan hubungan tidak baik antara
mertua, ipar, besan dan sebagainya.
3)
Hubungan Interpersonal
Gangguan ini dapat berupa hubungan dengan kawan dekat yang mengalami
konflik, konflik dengan kekasih, konflik dengan rekan kerja dan sebagainya.
4)
Pekerjaan
Kehilangan pekerjaan, pensiun (Post Power Syndrome), pekerjaan terlalu
banyak, dan sebagainya.
5)
Lingkungan Hidup
Faktor lingkungan tidak hanya dilihat dari lingkungan itu bebas polusi,
sampah dan lainnya tetapi terutama kondisi lingkungan sosial dimana seseorang
itu hidup, misalnya perumahan, pindah tempat tinggal, penggusuran, hidup dalam
lingkungan yang rawan, dan sebagainya. Rasa tidak aman dan tidak terlindung
membuat jiwa seseorang tercekam sehingga mengganggu ketenangan dan ketentraman
hidup.
6)
Keuangan
Masalah keuangan (kondisi sosial ekonomi) yang tidak sehat, misalnya
pendapatan lebih rendah dari pengeluaran, terlibat hutang, kebangkrutan usaha
dan lain sebagainya.
7)
Hukum
Keterlibatan seseorang dalam masalah hukum dapat merupakan sumber
stres, misalnya tuntutan hukum, pengadilan, dan lain sebagainya.
8)
Perkembangan
Yang dimaksud dengan perkembangan disini adalah perkembangan baik fisik
dan mental seseorang.
9)
Penyakit Fisik atau Cedera
Sumber stres yang dapat mempengaruhi kondisi kejiwaan seseorang antara
lain penyakit (terutama penyakit yang kronis), jantung, kanker, kecelakaan,
operasi, aborsi dan sebagainya.
10)
Faktor Keluarga
Biasanya terjadi pada anak dan remaja yang disebabkan karena kondisi
keluarga yang tidak baik, misalnya hubungan orang tua yang dingin atau acuh tak
acuh, kedua orang tua jarang dirumah, perceraian, dan orang tua yang mendidik
anaknya kurang sabar, pemarah, keras dan otoriter.
Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa seseorang dapat
mengalami konflik kejiwaan yang bersumber dari konflik internal (dunia dalam)
dan konflik eksternal (dunia luar). Tidak semua orang mampu menyelesaikan
konflik yang dialaminya sehingga orang tersebut jatuh dalam keadaan frustasi
yang mendalam, sebagai akibatnya yang bersangkutan mengalami gangguan jiwa
(Hawari, 2007).
6.
Penatalaksanaan
Skizofrenia Residual
Gangguan jiwa skizofrenia adalah salah satu penyakit
yang cenderung berlanjut (kronis). Oleh karena itu terapi pada schizophrenia
memerlukan waktu relatif lama berbulan bahkan bertahun, hal ini dimaksudkan
untuk menekan sekecil mungkin kekambuhan (Relapse). Terapi yang
dilakukan pada pasien dengan skizofrenia diantaranya terapi dengan obat-obatan
anti skizofrenia (psikofarmaka), psikoterapi, terapi psikososial dan terapi
psikoreligius.
a.
Psikofarmaka
Idealnya obat psikofarmaka dari berbagai jenis obat
harus memenuhi syarat-syarat antara lain sebagai berikut (Hawari, 2007) :
1)
Dosis rendah dengan efektivitas terapi
relatif singkat.
2)
Tidak ada efek samping, kalaupun ada
relatif kecil.
3)
Dapat menghilangkan dalam waktu
relatif singkat baik gejala positif maupun gejala negatif skizofrenia.
4)
Lebih cepat memulihkan fungsi kognitif
(daya pikir dan daya ingat).
5)
Tidak menyebabkan kantuk.
6)
Memperbaiki pola tidur.
7)
Tidak menyebabkan habituasi, adiksi
dan dependensi.
8)
Tidak menyebabkan lemas otot.
9)
Jika mungkin pemakaiannya dosis tunggal.
Berbagai jenis obat psikofarmaka yang sering diberikan
pada klien dengan ganggun jiwa menurut Damaiyanti antara lain :
1)
Clorpromazine (CPZ)
a)
Indikasi
Untuk sindrom psikosis yaitu berdaya berat dalam kemampuan menilai
realitas, kesadaran diri terganggu, daya nilai norma sosial dan tilik diri
terganggu, berdaya berat dalam fungsi-fungsi mental : waham, halusinasi,
gangguan perasaan dan perilaku yang aneh atau tidak berkendali, berdaya berat
dalam fungsi kehidupan sehari-hari tidak mampu bekerja, hubungan sosial dan
melakukan kegiatan rutin.
b)
Mekanisme kerja
Memblokade dopamine pada reseptor pasca snapdiotik khususnya sistem
eksttrapiramidal.
c)
Efek samping
Sedasi, gangguan otonomik (hypotensi, antikolinergik/ parasimpatik,
mulut kering, kesulitan dalam miksi dan defekasi, hidung tersumbat, mata kabur,
tekanan intraokuler meninggi, gangguan irama jantung). Gangguan esttrapiramidal
(distonia akut, akatshia sindroma parkinson tremor, bradikinesia rigiditas).
d)
Kontra indikasi
Penyakit hati, penyakit darah, epilepsi, kelainan jantung, febris,
ketergantungan obat, penyakit SSP, gangguan kesadaran.
2)
Haloperidol (HP)
a)
Indikasi
Berdaya berat dalam kemampuan menilai realita dalam fungsi netral serta
dalam fungsi kehidupan sehari-hari.
b)
Mekanisme kerja
Obat anti psikosis dalam memblokade dopamin pada reseptor
paska sinaptik neuron diotak khususnya sistem limbik dan sistem ekstra
piramidal.
c)
Efek ssamping
Sedasi dan inhibisi psikomotor, gangguan otomotik (antikolinergik, mulut
kering dan defekasi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intra okuler
meninggi, gangguan irama jantung).
d)
Kontra indikasi
Penyakit hati, penyakit darah, epilepsi, kelainan jantung, febris,
ketergantungan obat, penyakit SSP, gangguan kesadaran.
3)
Tryhexyphenidyl (THD)
a)
Indikasi
Segala jenis penyakit parkinson, termasuk paska ensepalitis dan idiopatik,
sindrom parkinson akibat obat misalnya resepina dan fenotiazine.
b)
Mekanisme kerja
Sinergis dengan kinidine, obat anti deprresan trisiklik dan anti kolinergik
lainnya.
c)
Efek samping
Mulut kering, penglihatan kabur, pusing, mual, muntah, bingung, agitasi,
konstipasi, tachkikardia, dilatasi, ginjal, retensi urine.
d)
Kontra indikasi
Hypersensitif terhadap trihexyperidyl, glaukoma
sudut sempit, psikosis berat, spikoneurosis, hypertropi prostat, dan obstruksi
saluran cerna.
b.
Psikoterapi
Terapi kejiwaan atau psikoterapi pada penderita
schizophrenia, baru dapat diberikan apabila penderita dengan terapi
psikofarmaka sudah mencapai tahapan dimana kemampuan menilai realitas (Reality
Testing Ability/RTA) sudah kembali pulih dan pemahaman diri (Insight)
sudah baik. Psikoterapi diberikan dengan catatan bahwa penderita masih tetap
mendapat terapi psikofarmaka.
Pengobatan dengan psikoterapi diberikan tergantung dari
kebutuhan dan latar belakang penderita sebelum sakit (Pramorbid). Ada
beberapa macam pengobatan dengan psikoterapi ini, diantaranya :
1)
Psikoterapi Suportif
Psikoterapi ini dimaksudkan untuk memberikan dorongan, semangat dan
motivasi agar penderita tidak merasa putus asa dan semangat juangnya dalam menghadapai
hidup ini tidak kendur dan menurun.
2)
Psikoterapi Re-Edukatif
Psikoterapi ini dimaksudkan untuk memberikan pendidikan ulang yang
maksudnya memperbaiki kesalahan pendidikan di waktu yang lalu dan juga dengan
pendidikan ini dimaksudkan mengubah pola pendidikan lama dengan yang baru
sehingga penderita lebih adaptif terhadap dunia luar.
3)
Psikoterapi Re-Konstruktif
Jenis psikoterapi ini dimaksudkan untuk memperbaiki kembali kepribadian
yang telah mengalami keretakan menjadi kepribadian utuh seperti semula sebelum
sakit.
4)
Psikoterapi Kognitif
Psikoterapi ini dimaksudkan untuk memulihkan kembali fungsi kognitif
(daya pikir dan daya ingat) rasional sehingga penderita mampu membedakan
nilai-nilai moral etika, mana yang baik dan buruk, mana yang boleh dan tidak
dan sebagainya (Discrimiative judgment).
5)
Psikoterapi Psiko-Dinamik
Jenis psikoterapi ini dimaksudkan untuk menganalisa dan menguraikan
proses dinamika kejiwaan yang dapat menjelaskan seseorang jatuh sakit dan upaya
untuk mencari jalan keluarnya. Dengan psikoterapi ini diharapkan penderita
dapat memahami kelebihan dan kelemahan dirinya dan mampu menggunakan mekanisme
pertahanan diri (Defense Mechanism) dengan baik.
6)
Psikoterapi Perilaku
Jenis psikoterapi ini dimaksudkan untuk memulihkan gangguan perilaku yang
terganggu (maladaptif) menjadi perilaku yang adaptif (mampu menyesuaikan diri).
Kemampuan adaptasi penderita perlu dipulihkan agar penderita mampu berfungsi
kembali secara wajar dalam kehidupannya sehari-hari.
7)
Psikoterapi Keluarga
Psikoterapi ini dimaksudkan untuk memulihkan hubungan penderita dengan
keluarganya. Dengan psikoterapi ini diharapkan keluarga dapat memahami mengenai
gangguan jiwa schizophrenia dan dapat membantu mempercepat proses penyembuhan
penderita.
Dari beberapa jenis psikoterapi diatas, dapat
disimpulkan bahwa secara umum tujuan dari psikoterapi adalah untuk memperkuat
struktur kepribadian, mematangkan kepribadian (Maturing Personality),
memperkuat ego (Ego Strengh), meningkatkan citra diri (Self Esteem),
memulihkan kepercayaan diri (Self Confidence), yang semuanya itu untuk
mencapai kehidupan yang berarti dan bermanfaat (Meaningfulness of Life).
c.
Terapi Psikososial
Terapi psikososial dimaksudkan agar penderita mampu
kembali beradaptasi dengan lingkungan sosial sekitarnya dan mampu merawat diri,
mampu mandiri tidak tergantung pada orang lain sehingga tidak menjadi beban
bagi keluarga dan masyarakat. Penderita selama menjalani terapi psikososial ini
hendaknya masih tetap mengkonsumi obat psikofarmaka. Kepada penderita
diupayakan untuk tidak menyendiri, tidak melamun, banyak kegiatan dan kesibukan
serta banyak bergaul.
d.
Terapi Psikoreligius
Terapi keagamaan yang dimaksudkan adalah berupa kegiatan
ritual keagamaan seperti sembahyang, berdoa, memanjatkan puji-pujian kepada
Tuhan, ceramah keagamaan dan kajian Kitab Suci dan lain sebagainya. (Hawari,
2007)
Comments
Post a Comment